REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom senior Indef Faisal Basri menilai, kebijakan terbaru pemerintah terikat pemulihan ekonomi akibat Covid-19 hanya bersifat bisnis semata. Bahkan, kebijakan tersebut hanya sekadar menutupi kesalahan atau kelalaian dalam pengelolaan.
Hal ini disampaikannya saat diskusi online yang digelar KAHMIPreneur, Senin (1/6). Selain Faisal Basri, diskusi ini menghadir pembicara lain yakni anggota Komisi Xi DPR RI Kamrussamad dan Ketua Apindo Hariyadi Sukamdani.
Menurut Faisal, setidaknya senilai Rp 152 triliun digelontorkan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dana sebanyak itu untuk suntikan penyertaan modal negara (PMN) dan dana kompensasi, serta dana talangan Investasi.
"Jadi tidak tidak ada kaitannya dengan pandemi tapi sekadar untuk menutupi salah kelola. Saya kita banyak politik kepentingan di sana," kritik Faisal Basri, Senin (1/6).
Oleh karena itu, kata Faisal, semestinya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dapat menyoroti dan mengkritik terkait anggaran tersebut. Total dana stimulus yang digelontorkan untuk BUMN sebanyak Rp 152,15 triliun. Kemudian Rp 25,27 triliun diberikan untuk lima perusahaan dalam bentuk dana PMN. Kelima perusahaan BUMN tersebut adalah Perusahaan Listrik Negara (PLN), Pengembangan Pariwisata Indonesia, Bahana Pembinaan Usaha Indonesia, Hutama Karya, dan Permodalan Nasional Madani.
Selanjutnya, sebanyak Rp 94,2 triliun dikucurkan sebagai bentuk pembayaran kompensasi untuk Pertamina, PLN, dan Bulog. Sedangkan Rp Rp 32,6 triliun dana talangan investasi diberikan ke Bulog, Garuda Indonesia, PTPN, Kereta Api Indonesia, Krakatau Steel, dan Perum Perumnas. Sementara dana kompensasi tersebut sifatnya tidak memiliki komitmen dalam APBN.
"Akibatmya penggantian kerugian ke Pertamina dan PLN terbata-bata. Saya khawatir nantiny akan terjadi kerusuhan sosial seperti sekarang terjadi di AS. Ini terjadi akibat kekuasaan negara mendominasi," ucap Faisal Basri.