Selasa 02 Jun 2020 06:47 WIB

Jumlah Perokok Anak Usia 10-18 Tahun Meningkat 9,1 Persen

Alinea.id menyelenggarakan diskusi melindungi anak dengan menghapus diskon rokok.

Rep: Erik PP/ Red: Erik Purnama Putra
Diskusi virtual bertema
Foto: Alinea.id
Diskusi virtual bertema

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guna memperingati Hari Tanpa Tembakau 2020, Alinea.id pada Senin (1/6) mengadakan diskusi daring bertema "Melindungi Anak dengan Menghapus Diskon Rokok". Webinar tersebut senapas dengan peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia setiap 31 Mei, yang tahun ini mengangkat tema "Melindungi Kaum Muda dari Manipulasi Industri dan Mencegah Mereka dari Penggunaan Tembakau dan Nikotin".

Yang hadir sebagai pemateri diskusi adalah Ketua Lentara Anak Lisda Sundari, dosen Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Abdillah Ahsan, pegiat Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) Tubagus Haryo Karbyanto, serta Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Ditjen Bea dan Cukai Kemenkeu Nirwala Dwi Heryanto.

Ketua Lentara Anak Lisda Sundari mengatakan, jumlah perokok anak di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2018, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Nasional (Riskedas), jumlah perokok anak usia 10-18 tahun meningkat 9,1 persen atau setara dengan 7,8 juta anak. Padahal, Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) menargetkan pada 2019 prevalensi perokok anak harus turun menjadi 5,4 persen. Hal itu menunjukkan pemerintah gagal dalam mengendalikan konsumsi rokok, sementara industri rokok berhasil merekrut perokok baru, yaitu anak-anak, setiap tahunnya.

 

Lisda menyebutkan, ada dua penyebab tingginya perokok anak yang saling berkaitan erat, yaitu praktik iklan rokok yang sangat leluasa menyasar anak-anak sebagai target pemasaran produknya dan harga rokok yang relatif terjangkau sehingga memudahkan anak-anak membeli rokok. “Praktik diskon rokok akan memperburuk upaya-upaya pencegahan perokok anak karena harga rokok akan semakin murah dan anak-anak semakin mudah menjangkaunya,” kata Lisda di Jakarta, Senin.

 

Karena itu, Lentera Anak mendesak pemerintah untuk meninjau kembali aturan yang memungkinkan rokok dijual lebih murah. Hal itu sebagai bentuk keberpihakan pemerintah terhadap perlindungan anak dan masa depan bangsa.

 

Dosen FEB UI Abdillah Ahsan mengatakan, dari sudut pengendalian rokok, harga merupakan salah satu unsur paling penting. Makin mahal rokok yang dijual, dia melanjutkan, makin baik pencegahannya. Begitu juga sebaliknya, jika makin murah rokok dijual, makin sulit proses pengendaliannya. “Maka, untuk mengembalikan semangat pengendalian konsumsi rokok, aturan yang membolehkan diskon rokok itu perlu direvisi," ucap Abdillah.

 

Pegiat Fakta Tubagus Haryo Karbyanto mengatakan, munculnya kebijakan diskon rokok bertentangan dengan visi strategis Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang sejak awal pemerintahan ingin mengutamakan kualitas sumber daya manusia (SDM). Apalagi, Indonesia memiliki visi strategis, yakni SDM unggul memiliki kreativitas, inovasi, dan kecepatan untuk bersaing secara global sehingga mampu melompati bangsa lain di dunia.

 

Visi tersebut sesuai dengan perkiraan limpahan bonus demografi yang akan Indonesia dapatkan pada 2030. Sekitar 10 tahun lagi, menurut Tubagus, angka dependency ratio mencapai titik terendah di angka 46,9 persen. Artinya, pada tahun tersebut kelompok usia produktif mencapai dua kali lipat dibandingkan yang tidak produktif.

 

Oleh karena itu, dia menambahkan, kebijakan diskon rokok bertentangan dengan tujuan negara, visi-misi presiden, RPJMN, dan filosofi pengendalian tembakau, khususnya pada kebijakan pengenaan cukai rokok. “Makanya perlu segera diambil langkah-langkah hukum untuk mencabut kebijakan diskon rokok, baik itu melalui government review, amendemen, hingga judicial review,” ucap Tubagus.

 

Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Ditjen Bea Cukai, Nirwala Dwi Heryanto, menyatakan, pemerintah berdiri seimbang dalam mengatur rokok. Nirwala menjelaskan, kebijakan cukai menjadi instrumen pengendalian tembakau, dengan tarif cukai naik setiap tahun. "Tujuan kenaikan cukai sendiri adalah membuat harga rokok tidak terjangkau utamanya untuk anak. Dalam pelaksanaannya, Ditjen Bea dan Cukai memantau harga rokok secara berkala di pasar sesuai dengan ketentuan peraturan menteri keuangan,” ucapnya.

Dia menyatakan, terjadi perbedaan pemahaman mengenai istilah yang disebut sebagai diskon rokok. Apa yang disebut sebagai diskon rokok, menurut dia, sebenarnya merupakan potongan harga di tingkat penjualan. Menurut Nirwala, harga jual eceran (HJE) rokok berada di tingkat retailer atau pengecer, sedangkan Bea Cukai tidak mungkin melakukan pengawasan di sana alias berhenti di tingkat perusahaan.

"Cuma masalahnya harga dari pabrik kalau sudah 100 persen nanti menjadi sama antara HJE dan harga transaksi pasar (HTP). Terus nanti yang mengongkosin distribusi siapa? Itulah yang disebut teman-teman penggiat antitembakau tadi sebagai diskon," katanya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement