REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendesak agar aksi protes ketikdasetaraan rasial atas kematian pria Afrika-Amerika, George Floyd digelar secara damai. Juru bicara PBB, Stephane Dujarric menyerukan kepada para pemimpin dan otoritas Amerika Serikat (AS) untuk mendengarkan tuntutan para pengunjuk rasa.
"Keluhan harus didengar, tetapi mereka harus diungkapkan dengan cara damai dan pihak berwenang harus menunjukkan menahan diri dalam menanggapi demonstran," kata Dujarric.
Floyd ditangkap karena menggunakan uang 20 dolar AS palsu di sebuah toko. Dalam sebuah rekaman video, Floyd diborgol dan tidak memberontak dalam penangkapan tersebut. Namun, polisi mengklaim bahwa dia sempat melawan ketika ditangkap.
Berdasarkan rekaman video, Floyd terbaring telungkup di jalan dan seorang perwira polisi, Derek Chauvin menekan lututnya di bagian leher. Floyd tampak terengah-engah dan mengerang, "Saya tidak bisa bernafas" berulang kali. Chauvin tetap mempertahankan lututnya di leher Floyd selama hampir sembilan menit. Sementara, dua petugas polisi lainnya menekan lutut mereka ke punggung Floyd.
Chauvin telah dipecat dari kesatuan kepolisian Minneapolis dan didakwa dengan pembunuhan tingkat tiga. Sementara, tiga polisi lainnya Thomas Lane, Tou Thao, dan J Alexander Kueng juga telah dipecat namun tidak mendapatkan dakwaan. Dujarric mengatakan semua kasus harus diselidiki.
"Kami selalu mengatakan bahwa pasukan polisi di seluruh dunia perlu memiliki pelatihan hak asasi manusia yang memadai, dan juga perlu ada investasi dalam dukungan sosial dan psikologis untuk polisi sehingga mereka dapat melakukan pekerjaan mereka dengan baik," ujar Dujarric.
Presiden AS, Donald Trump telah meminta Departemen Kehakiman dan FBI untuk menyelidiki kematian Floyd. Namun, dia belum membuat pernyataan publik untuk mengurangi aksi demonstrasi yang berakhir ricuh di sejumlah negara bagian.
Kematian Floyd telah memicu gelombang aksi protes di AS. Mereka marah atas bias rasial dalam sistem peradilan pidana AS. Aksi demonstrasi tersebut berubah menjadi kekerasan dan penjarahan. Demonstran memblokir lalu lintas, dan bentrok dengan polisi anti huru hara.