Selasa 02 Jun 2020 11:04 WIB

Rasa Syukur dan Filosofi Lebaran Ketupat Keraton Kasepuhan

Tak hanya dinikmati keluarga keraton, masakan ketupat juga dikirim ke berbagai masjid

Rep: Lilis Sri Handayani/ Red: Agus Yulianto
Sajian masakan ketupat saat lebaran ketupat di Keraton Kasepuhan Cirebon.
Foto: Dokpri Sultan Sepuh
Sajian masakan ketupat saat lebaran ketupat di Keraton Kasepuhan Cirebon.

REPUBLIKA.CO.ID, CIREBON – Sejumlah daerah memiliki tradisi tersendiri untuk merayakan selesainya puasa sunah enam hari di bulan Syawal. Seperti misalnya di Keraton Kasepuhan Kota Cirebon, yang merayakannya dengan tradisi lebaran ketupat.

Lebaran ketupat dirayakan setiap 8 Syawal atau yang pada tahun ini jatuh pada Ahad (31/5). Dalam lebaran ketupat, Keraton Kasepuhan memasak ketupat lengkap dengan sayur dan sambal gorengnya.

‘’Saat Idul Fitri kami belum makan ketupat. Baru saat lebaran ketupatlah, kami makan ketupat,’’ ujar Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan, PRA Arief Natadiningrat.

Sultan Sepuh mengatakan, lebaran ketupat merupakan wujud rasa syukur setelah menjalankan puasa sunah syawalan enam hari. Tak hanya dinikmati keluarga keraton, sajian masakan ketupat juga dikirim ke berbagai masjid, seperti Mesjid Agung Sang Cipta Rasa (yang berusia 500 tahun), Mesjid Pejlagrahan (usia 500 tahun), Langgar Agung dan Ketandan.

‘’Hajat masakan ketupat juga dikirimkan ke situs-situs lainnya dan kepada para wargi dan abdi dalem,’’ tutur Sultan Sepuh.

Sultan Sepuh menuturkan, tradisi lebaran ketupat itu juga memiliki filosofi tersendiri. Kata ketupat, berasal dari kupat. Parafrase kupat adalah ngaku lepat atau mengaku bersalah.

Sedangkan janur atau daun kelapa yang membungkus ketupat merupakan kependekan dari kata jatining nur yang bisa diartikan hati nurani. Secara filosofis, beras yang dimasukan dalam anyaman ketupat menggambarkan nafsu duniawi.

‘’Dengan demikian, bentuk ketupat melambangkan nafsu dunia yang dibungkus dengan hati nurani,’’ kata Sultan Sepuh.

Bagi sebagian masyarakat Cirebon, lanjut Sultan Sepuh, bentuk ketupat (persegi) diartikan dengan kiblat papat limo pancer. Papat dimaknai sebagai simbol empat penjuru mata angin utama, yakni  timur, barat, selatan, dan utara.

‘’Artinya, ke arah manapun manusia akan pergi, ia tak boleh melupakan pancer (arah) kiblat atau arah kiblat (sholat),’’ tegas Sultan Sepuh.

Sedangkan rumitnya anyaman janur untuk membuat ketupat, merupakan simbol dari kompleksitas masyarakat. Anyaman yang melekat satu sama lain merupakan anjuran bagi seseorang untuk melekatkan tali silaturahmi tanpa melihat perbedaan kelas sosial. 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement