Selasa 02 Jun 2020 13:31 WIB

Kemenkes Ingatkan SKM dalam Tas Bansos Bukan untuk Balita

Dirjen Gizi ingatkan SKM bukan sesuatu yang baik untuk diberikan kepada balita

Susu kental manis (ilustrasi). Dirjen Gizi Kemenkes RI, Dr. Dhian Dipo, menegaskan bahwa kecukupan gizi sangat diperlukan untuk menjaga imunitas di tengah ancaman wabah. Meski begitu ia mengingatkan bahwa susu kental manis bukan untuk balita maupun bayi.
Foto: Istimewa
Susu kental manis (ilustrasi). Dirjen Gizi Kemenkes RI, Dr. Dhian Dipo, menegaskan bahwa kecukupan gizi sangat diperlukan untuk menjaga imunitas di tengah ancaman wabah. Meski begitu ia mengingatkan bahwa susu kental manis bukan untuk balita maupun bayi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tas bantuan sosial (bansos) barangkali menjadi barang yang paling dirindukan di kala pandemi menghadang dalam beberapa waktu terakhir. Produk-produk instan seperti mie instan, sarden, dan susu kental manis (SKM) sangat lumrah ditemukan dalam paket bantuan sosial sembako bagi warga terdampak COVID-19 di Indonesia.

Meski begitu Dirjen Gizi Kemenkes RI, Dr. Dhian Dipo, menegaskan bahwa kecukupan gizi sangat diperlukan untuk menjaga imunitas di tengah ancaman wabah. Meski begitu ia mengingatkan bahwa susu kental manis bukan untuk balita maupun bayi.

Sebab SKM sama sekali bukan pengganti ASI dan bukan pengganti susu. Menurutnya, SKM justru memiliki kandungan gula yang terlalu tinggi dan sangat membahayakan jika dikonsumsi bayi dan anak-anak.

“Jadi saya mengingatkan, kalau nanti ada bantuan sosial yang terdapat di dalamnya makanan instan seperti SKM, itu bukan untuk balita. SKM itu juga bukan sesuatu yang baik untuk diminum tunggal seperti buat minuman yang hanya isinya susu saja, itu tidak bisa. SKM harus digabung dengan makanan lain seperti pepaya, sirup kan itu jadi campuran. Tetapi itu juga tidak menjadi sumber gizi utama. Dalam surat edaran Menteri Kesehatan juga kita sampaikan bahwa SKM itu tidak diberikan kepada bayi dan balita,” katanya.

Oleh karena itu, ia mengingatkan pentingnya memantau pertumbuhan anak agar jangan sampai anak malah banyak menderita “stunting” atau menderita gizi buruk yang timbul akibat pandemi COVID-19 ini.

“Maka selama ini kami juga melakukan edukasi kepada masyarakat soal pemahaman tentang gizi yang seimbang. Yaitu, dengan membatasi pangan manis, asin, dan berlemak,” ujarnya.

Dampak Pandemi

Sementara itu Anggota komisi IV DPR RI Luluk Nur Hamidah mengingatkan bahwa permasalahan COVID-19 bukan hanya terkait kesehatan. “Orang sakit butuh makan, orang sehat juga butuh makan. Artinya, kebutuhan pangan tidak berkurang, tapi produksi mengalami gangguan.”

Menurut Luluk, kondisi tersebut jelas akan berdampak terhadap kurangnya pasokan bahan pangan untuk keluarga. Bila di tingkat keluarga sudah mengalami kelaparan, maka yang pertama akan terdampak adalah anak mengingat anak-anak adalah anggota keluarga yang sangat rentan.

Oleh karena itu, penyertaan makanan instan dan SKM di dalam bantuan sembako untuk masyarakat terdampak COVID-19 semestinya bisa digantikan dengan bahan pangan lain yang lebih berkualitas.

“Paling ideal adalah pasti ada beras. Tapi kalau di daerah tersebut ada pangan lokal yang biasa dikonsumsi masyarakat, misalnya sagu, jagung, atau sorgum, itu bisa dimasukkan. Inilah yang disebut diversifikasi pangan. Pentingnya diversifikasi pangan ini juga untuk menyerap hasil-hasil dari daerah setempat, seperti ikan baik darat dan laut,” kata Luluk.

Agus Pambagio, Pengamat Kebijakan Publik, juga ikut menyoroti isi paket bansos ke masyarakat ini. Dia sangat menyayangkan paket-paket bansos yang isinya masih banyak yang menyisipkan pangan instan termasuk susu kental manis atau krim kental manis.

“Jadi itu seharusnya tidak lagi dipakai untuk bansos. Apalagi SKM, itu kan masih dianggap sebagai susu yang bergizi bagi anak-anak oleh orang tua di kota-kota kecil terutama desa, padahal itu tidak baik bagi kesehatan mereka karena mengandung banyak gula,” katanya.

Sebagaimana disampaikan Dr.dr. Tubagus Rachmat Sentika Sp.A.MARS, Anggota Satgas Tumbuh Kembang Anak PB IDAI yang bahkan menegaskan bahwa SKM dilarang dan tidak dibolehkan untuk anak-anak di bawah usia 18 tahun.

“Dilarang menggunakannya karena gulanya sangat tinggi. Proteinnya 15 persen, dikasih tepung terigu 8 persen. Kalau anak balita diberi minum SKM nanti semua jadi gemuk badannya tapi otaknya kosong,” katanya.

Program Kreatif

Makanan instan alias pangan cepat saji disadari kemudian bukan merupakan asupan yang justru dibutuhkan untuk meningkatkan imunitas. Sementara masyarakat khususnya anak dan balita sangat membutuhkan asupan berkualitas agar tetap sehat di saat gempuran wabah menghadang.

Mereka cenderung membutuhkan makanan dengan asupan enzim yang masih tinggi, seperti protein, sayuran, dan buah-buahan. Alih-alih pangan yang instan yang sudah dibubuhi bahan pengawet yang malah memperberat sistem cerna.

Anggota komisi IV DPR RI Luluk Nur Hamidah mendorong diterapkannya sebuah program kreatif yang memungkinkan masyarakat bisa mendapatkan pangan sehat yang berkualitas.

Ia mencontohkan, pemerintah bisa membeli bahan-bahan pangan yang surplus di tingkat masyarakat akibat rendahnya daya beli masyarakat seperti ayam, telur, dan cabe untuk dibagikan kembali ke masyarakat dalam bentuk bantuan.

Untuk memudahkan distribusi ataupun mencegah agar bahan tersebut tidak rusak, bahan pangan tersebut dapat diolah ataupun dijadikan produk beku.

“Cara-cara kreatif seperti ini yang perlu dilakukan saat ini, dan inilah yang dilakukan oleh Vietnam, dan negara lain. Dalam keranjang bantuan pangan isinya makanan bergizi , bukan “junkfood” seperti mie instan dan susu kental manis yang dapat membuat antibodi menurun,” kata Lulu.

Dengan begitu maka tas bansos menjadi instrumen yang selain dibutuhkan sekaligus menjadi garda penjaga kesehatan masyarakat, anak, dan balita.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement