REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah memberikan bantuan dana kepada sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang terdampak pandemi Covid-19. Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga mengatakan terdapat tiga skenario bantuan kepada BUMN yang terdiri atas pencairan utang pemerintah kepada BUMN, penyertaan modal negara (PMN) tahun 2020, hingga dana talangan yang merupakan pinjaman yang harus dikembalikan kepada pemerintah.
"Pencairan utang dari pemerintah kepada BUMN ini menjadi utang pemerintah, ini utang pemerintah yang memang belum dibayar kepada BUMN. Itu ada beberapa lah, ada PLN, Pertamina, dan sebagainya, totalnya sekitar Rp 108 triliun," ujar Arya saat konferensi video di Jakarta, Selasa (2/6).
Rincian pencarian utang pemerintah diberikan kepada BUMN Karya sebesar Rp 12,16 triliun, KAI sebesar Rp 0,30 triliun, PLN sebesar Rp 48,46 triliun, Kimia Farma sebesar Rp 1 triliun, Bulog sebesar 0,57 triliun, Pertamina sebesar Rp 40 triliun, dan Pupuk sebesar Rp 6 triliun.
Sementara PMN, kata Arya, benar-benar modal yang diberikan negara masuk ke perusahaan pelat merah. Arya memerinci empat BUMN yang mendapat PMN pada 2020 seperti Hutama Karya untuk pembangunan jalan tol trans Sumatera sebesar Rp 7,5 triliun, PMN untuk kredit UMKM sebesar Rp 1,5 triliun, BPUI untuk penjaminan kredit KUR dan UMKM sebesar Rp 6 triliun, dan ITDC untuk pengembangan kawasan wisata Mandalika di Lombok, NTB, sebesar Rp 500 miliar.
Sedangkan total bantuan dana talangan pada 2020 mencapai Rp 19,65 triliun yang diberikan kepada Garuda Indonesia sebesar Rp 8,5 triliun, KAI sebesar Rp 3,5 triliun, Perumnas sebesar Rp 650 miliar, Krakatau Steel sebesar Rp 3 triliun, dan PTPN sebesar Rp 4 triliun. Pemberian dana talangan didasarkan pada sejumlah dampak yang dialami BUMN tersebut, mulai dari penurunan penumpang hingga 95 persen yang dirasakan Garuda, pembatasan operasi yang dialami KAI, penurunan harga CPO dan volume permintaan ekspor yang dihadapi PTPN, atau untuk modal kerja bagi Perumnas.
Arya menyampaikan dana talangan kepada Garuda sebesar Rp 8,5 triliun bukan dana APBN yang diberikan pemerintah. Kata Arya, pemerintah hanya menjadi penjamin. Sementara dananya bisa didapat Garuda dari mana saja, entah itu perbankan atau permodalan.
"Itu perlu diluruskan, dia bukan APBN, tapi dia seperti pinjaman diberikan kepada Garuda dan Garuda lagi mencari siapa yang bisa memberikan dana tersebut Rp 8,5 triliun, jadi pemerintah hanya fungsinya sebagai penjamin, bukan pemberi dana," lanjut Arya.
Arya menyebut Garuda Indonesia itu tidak mungkin mendapatkan dana dari pemerintah. Pasalnya hanya perusahaan yang 100 persen dimiliki pemerintah yang dapat menerima APBN. Sementara Garuda Indonesia hanya 60 persen dimiliki pemerintah, sedangkan sisanya swasta.
"Tidak boleh dalam pemerintah masuk ke Garuda. Jadi kalau dikatakan untuk dipakai bayar utang itu tidak benar, karena memang tidak bisa masuk. Pemerintah tidak bisa masuk dana ke Garuda karena tidak 100 persen memiliki Garuda, yang kedua bukan dana dari APBN yang masuk, tapi menjamin Garuda saat mengambil pinjaman dan sebagainya," ucap Arya.
Arya menilai hal yang wajar bagi pemerintah membayar utang kepada BUMN dan tidak perlu diributkan. Yang terpenting, kata Arya, BUMN mempunyai perhitungan sendiri penggunaan dana tersebut dengan tetap mengedepankan prinsip tata kelola perusahaan yang baik.