REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV – Iyak Halak (32) tewas setelah ditembak mati oleh polisi Israel di Yerusalem pada Sabtu (30/5) lalu waktu setempat. Kemudian dia dimakamkan pada Ahad (31/5) malam.
Warda Abu Hadid, pengasuh Halak, menceritakan kronologis kepada media Israel soal penembakan itu.
Hadid mengatakan telah mencoba memperingatkan polisi bahwa Halak menderita autisme dan tidak mengerti panggilan mereka. "Dia cacat, cacat," kenangnya berulang kali berteriak. "Tunggu sebentar, ambil kartu ID-nya, periksa ID-nya," ucap Hadid meniru perkataan polisi Israel, dilansir dari The Guardian, Selasa (2/6).
Namun, meski sudah diperingatkan, lesatan tembakan polisi Israel tak terbendung. "Tiba-tiba mereka menembakkan tiga peluru ke arahnya, di depan mataku," kata Hadid kepada Channel 13. "Aku berteriak, 'Jangan tembak dia.' Mereka tidak mendengarkan, mereka tidak mau mendengar," tuturnya lagi.
Setelah menembaki Halak, kata Hadid, polisi mengarahkan senjata ke arahnya. "Mereka mendatangi saya, menempelkan senjata ke arah saya dan berkata, 'Beri kami pistol yang dia berikan kepadamu," ujar Hadid menceritakan yang terjadi saat itu.
Dalam sebuah pernyataan, polisi Israel menyampaikan mereka melihat benda mencurigakan yang terlihat seperti pistol pada diri Halak.
Polisi kemudian memanggilnya untuk berhenti dan mulai mengejar dengan berjalan kaki. "Selama pengejaran itu, petugas juga menembaki tersangka," kata pernyataan itu.
Pada aksi protes di Israel dan Palestina sejak Sabtu lalu, orang-orang memegang tanda bertuliskan "Palestinian lives matter", sebuah rujukan ke gerakan Black Lives Matter yang berpusat di AS.
Institut Diplomasi Publik Palestina yang berbasis di Ramallah berbagi gambar Halak dan George Floyd secara berdampingan di Twitter.
Tertulis "Dua negara, sistem serupa." "(Halak) dan George adalah korban dari sistem supremasi dan penindasan yang serupa. Mereka harus dibongkar," kata kelompok advokasi.
Sebelum terbunuh, Halak sedang dalam perjalanan ke sebuah lembaga pendidikan di Kota Tua Yerusalem, tempat dia belajar. Tak lama setelah penembakan itu, polisi menggerebek keluarganya. Dua petugas menginterogasi dengan hati-hati.
Menteri Keamanan Publik Israel, Amir Ohana, berjanji untuk menyelidiki tetapi mengatakan para petugas diminta untuk membuat keputusan yang menentukan dalam hitungan detik di daerah yang telah dibanjiri serangan teror. Dalam kondisi ini, selalu ada bahaya bagi kehidupan mereka.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, tidak menyinggung pembunuhan pada pertemuan kabinet, Ahad kemarin. Tetapi Menteri Pertahanannya dan Perdana Menteri pengganti, Benny Gantz, meminta maaf atas insiden tersebut. "Saya yakin masalah ini akan diselidiki dengan cepat, dan kesimpulan akan dicapai," kata Gantz.
B'Tselem, sebuah kelompok hak asasi manusia Israel terkemuka, mengatakan bahwa keadilan tidak mungkin ditegakkan. Apalagi hanya sebagian data yang dimiliki untuk mengadili polisi Israel. Mereka mencatat, penyelidikan atas pembunuhan lebih dari 200 warga Palestina oleh tentara Israel selama sembilan tahun terakhir hanya menghasilkan tiga tentara yang dihukum.
"Bahkan dalam kasus yang sejernih dan mengerikan seperti ini, pembukaan penyelidikan hanyalah langkah pertama dalam kapurnya," kata juru bicara kelompok itu, Amit Gilutz, tentang pembunuhan Halak.