REPUBLIKA.CO.ID, MINNEAPOLIS -- Tindakan menekan bagian leher orang yang diduga melakukan kejahatan dengan menggunakan lutut, seperti yang terjadi dalam kasus George Floyd di Minneapolis, Minnesota, Amerika Serikat (AS), sudah kerap dilakukan oleh petugas kepolisian di kota tersebut. Bahkan, dilaporkan hampir 60 persen tindakan ini dilakukan kepada orang-orang kulit hitam.
Dilansir Insider, sejak 2015 Kepolisian Minneapolis dilaporkan membuat setidaknya 44 orang pingsan saat tindakan tersebut dilakukan. Dalam kasus Floyd, petugas bernama Derek Chauvins terlihat terus menahan leher tersangka, bahkan meski tak ada perlawanan yang dilakukan, hingga sudah kehilangan kesadaran, tak berdaya, dan dinyatakan tewas beberapa saat setelahnya.
Secara keseluruhan, di laporan disebutkan bahwa tindakan menahan leher tersangka telah dilakukan sebanyak 237 kali sejak awal 2015. Dalam keterangan daring yang diberikan Minneapolis Police & Procedure Manual, disebutkan bahwa penggunaan tindakan tersebut dalam keadaan tertentu diizinkan.
Kebijakan tersebut tampaknya terakhir kali diperbarui pada 2012. Chauvin, seorang perwira polisi yang melakukan tindakan tersebut pada Floyd saat ini telah dipecat dan didakwa melakukan pembunuhan tingkat tiga.
Dalam sebuah video yang beredar memperlihatkan insiden penangkapan Floyd, Chauvins menahan leher pria berusia 46 tahun itu dengan lutut selama delapan menit. Bahkan, tindakan itu terus dilakukan saat Floyd mengatakan tidak bisa bernapas dan kemudian terlihat tak sadarkan diri.
Dilaporkan bahwa sekitar 30 persen dari tersangka yang pingsan setelah tindakan dilakukan adalah orang-orang kulit putih dan dua dari 44 orang kulit berwarna merupakan warga asli Amerika. Hampir semua adalah pria dan mayoritas berusia di bawah 40 tahun.
Menurut laporan NBC, sulit untuk membandingkan penggunaan taktik oleh perwira di Minneapolis dengan petugas di kota-kota besar lainnya karena kurangnya data penggunaan-kekuatan yang tersedia untuk umum di kota-kota lain di AS. Sementara, Minneapolis Star-Tribun melaporkan setelah kematian Floyd bahwa menahan leher tersangka dengan lutut dilarang di sebagian besar lembaga penegak hukum di negara bagian Minnesota.
Hanya saja, di Minneapolis tindakan itu diizinkan sebagai opsi kekuatan yang tidak mematikan dan hanya dapat digunakan oleh petugas polisi yang terlatih tentang cara melakukannya. Salah satu poin dari pelatihan itu adalah bagaimana agar tekanan langsung tidak sampai menghalangi jalan napas seseorang.
Sementara seorang pejabat Minneapolis mengatakan bahwa taktik yang digunakan Chauvin pada Floyd masih terus diselidiki. Lebih dari puluhan pejabat dan pakar penegak hukum juga mengatakan tindakan menahan leher tersangka dengan lutut bagaimanapun tidak diajarkan atau disetujui oleh seluruh badan kepolisian di AS.
Kematian pria keturunan Afrika George Floyd telah membuat banyak orang menggelar aksi protes, bahkan kondisi terus memanas di seluruh AS. Kerusuhan terjadi di sekitar Gedung Putih di Ibu Kota Washington.
Jam malam kemudian diberlakukan. Presiden AS Donald Trump juga mengancam akan menurunkan lebih banyak aparat jika massa tak kunjung bisa dikendalikan.
Floyd pada awalnya ditangkap karena menggunakan uang 20 dolar AS palsu di sebuah toko. Dalam sebuah rekaman video, setelah didatangi polisi, ia diborgol dan tidak memberontak sepanjang proses penangkapan tersebut.
Namun, polisi mengeklaim bahwa dia sempat melawan ketika ditangkap. Pengacara yang mewakili keluarga Floyd yang diduga dibunuh oleh Chauvin meminta tuntutan tambahan.
Salah satu pengacara, Antonio Romanucci, mengatakan bahwa tiga petugas polisi lainnya yang berada di tempat kejadian harus juga menghadapi dakwaan. Ia menjelaskan bahwa tidak hanya lutut di leher yang menjadi penyebab kematiannya, tetapi juga berat kedua lutut petugas polisi lain di punggungnya menjadi penyebab.
"Itu tidak hanya mencegah aliran darah ke otaknya, tetapi udara mengalir ke paru-parunya. Itu membuat semua petugas di tempat kejadian perkara bertanggung jawab secara pidana," ujar Romanucci.