REPUBLIKA.CO.ID, مَثَل المؤمن مَثَل النحلة، لا تأكُلُ إلا طيِّبًا، ولا تضَعُ إلا طيِّبًا
"Perumpamaan seorang Mukmin bagaikan lebah, ia tidak makan kecuali yang baik dan tidak memberi kecuali yang baik." (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Redaksi hadits ini terbilang singkat. Walau begitu makna yang dikandungnya cukup dalam dan luas. Setidaknya ada dua pesan dalam hadits ini.
Pertama, seorang Muslim harus selektif dalam menerima sesuatu; entah itu berupa pemikiran, budaya, sampai makanan. Ia hanya akan menerima yang baik saja. Standar yang digunakannya adalah Alquran dan sunnah.
Selama yang ia dapati itu sesuai dengan keduanya, maka ia akan terima. Namun tatkala bertentangan dengan keduanya, ia tidak ragu untuk menolaknya.
Pada saat sekarang, umat Islam tengah dihadapkan pada derasnya arus informasi dan masifnya ekspansi Barat. Ekspansi tersebut bukan hanya sebatas budaya, melainkan telah menyentuh pula wilayah akidah.
Di sinilah prinsip selektivitas menjadi sangat penting. Dengan memiliki sikap selektif, diharapkan, umat tidak menjadi pengikut buta peradaban Barat. Sebaliknya, mereka pun tidak menutup mata dan telinga dari nilai-nilai positif yang ada dalam peradaban tersebut.
Prinsip selektivitas adalah modal berharga bagi umat Islam untuk menjadi umatan wasathan (umat pertengahan). Allah SWT berfirman: وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَٰكُمْ أُمَّةً وَسَطًا "Dan demikianlah kami jadikan kalian umat pertengahan..." (QS Al-Baqarah [2]: 143).
Kedua, seorang Mukmin tidak memberikan sesuatu kepada yang lainnya kecuali yang baik. Seorang Muslim dilarang menjadi biang kesusahan bagi orang lain. Ia harus tampil menjadi solusi bagi kesusahan orang lain.
Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسلمٍ كُرْبةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ بها كُرْبةً مِنْ كُرَبِ يوم القيامةِ
"Barangsiapa yang melepaskan kebingungan seorang Muslim, maka Allah akan melepaskan satu kebingungan dari kebingungan-kebingungan di hari akhir" (HR Bukhari dan Muslim).
Atau paling tidak orang lain merasa aman dari lidah serta tangannya.
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ، وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
"Muslim itu adalah orang yang yang Muslim lainnya merasa selamat dari lidah dan tangannya dan orang berhijrah adalah orang yang meninggalkan larangan Allah" (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam konteks keumatan, Allah SWT menjuluki umat Islam sebagai كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ khairu ummah atau umat yang terbaik (QS Ali Imran [3]: 110). Mereka dilahirkan untuk umat manusia dan mereka hanya akan memberikan yang terbaik untuk umat manusia.
Sejarah mencatat bahwa sejak peradaban Islam muncul dan berkembang, peradaban lain pun merasakan manisnya. Ilmu-ilmu pengetahuan yang sekarang berkembang di Barat tidak bisa dilepaskan dari campur tangan ilmuwan-ilmuwan Islam pada abad pertengahan. Ibnu Rusyd, Al-Khawarizmi, Ibnu Sina adalah sedikit ilmuwan Muslim yang memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan peradaban Barat.