Rabu 03 Jun 2020 09:54 WIB

Kebangkitan Islam dari Asia Tenggara Menurut John L Esposito

John L Esposito beranggapan kebangkitan Islam dari Asia Tenggara.

John L Esposito beranggapan kebangkitan Islam dari Asia Tenggara. Ilustrasi umat Islam di Asia Tenggara.
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
John L Esposito beranggapan kebangkitan Islam dari Asia Tenggara. Ilustrasi umat Islam di Asia Tenggara.

REPUBLIKA.CO.ID, Bagi banyak sarjana Barat, Asia Tenggara tentu saja bukan wilayah yang langsung terbayang ketika membicarakan dunia Islam. Kajian tentang Islam bagi mereka umumnya masih mengidentikkan Islam dengan Timur Tengah.

Berbeda dengan kebanyakan dari sarjana Barat lainnya, Robert W Hefner mengatakan bahwa melakukan studi tentang Islam di Asia Tenggara-khususnya Indonesia-adalah sangat penting dan menarik. Indonesia contohnya, adalah negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Dengan pertimbangan itu, mempelajari dan memahami Islam di Indonesia adalah penting bagi relasi Islam-Barat dan masa depan kemanusiaan global.

Baca Juga

Senada dengan Hefner, John L Esposito melukiskan pengalaman dan keterkejutannya melihat Islam Asia Tenggara saat ini. Lebih dari dua puluh tahun yang lalu, Esposito tidak tertarik kepada Islam Asia Tenggara. Salah satu faktornya adalah pandangan umum yang berkembang di kalangan ilmuwan Barat, bahwa Islam Asia Tenggara adalah Islam periferal (pinggiran). Namun tahun 1990-an Esposito mengalami ketertarikan, bahkan kekaguman. Esposito mengatakan bahwa Indonesia dan Malaysia akan muncul dan memainkan peran penting dalam dunia Islam (1997).

Penilaian Esposito ini barangkali tidak berlebihan. Islam Asia Tenggara cukup menjanjikan dan akan muncul menjadi kawasan alternatif bagi kebangkitan Islam. Dalam dunia dimana pandangan dunia telah memaknai Islam sebagai tidak cocok dengan modernisasi dan demokrasi, bahkan dikonotasikan dengan radikalisme agama, Asia Tenggara justru memperlihatkan sosok Islam yang moderat.  

Kebangkitan Islam di abad ke-19 hingga 21 adalah sebuah fenomena global. Seiring dengan adanya interaksi dengan peradaban Barat di abad ke-18, umat Islam menyadari ketebelakangan peradabannya dibandingkan Barat. Interaksi tersebut berlanjut menjadi media refleksi dan digunakan sebagai kesempatan untuk mempelajari peradaban Barat.

Namun kebangkitan Islam tidak semata-mata terinspirasi oleh kemajuan peradaban Barat. Evers dan Sharon Siddique mencatat ada empat model gerakan yang melatarbelakangi kebangkitan Islam. Pertama, gerakan penolakan atas rasionalisasi, yaitu penolakan atas demistifikasi dunia. Kedua, gerakan sebagai sebuah usaha untuk mengatasi tekanan-tekanan modernisasi. Ketiga, gerakan anti imperialis dan hegemoni. Dan keempat, gerakan pembaruan yang merupakan doktrin agama itu sendiri (1993).

Kebangkitan Islam dalam konteks yang dilatari oleh faktor pertama, kedua, dan ketiga bisa dikatakan sebagai respon negatif terhadap modernitas Barat. Kebangkitan Islam dimaknai sebagai resistensi identitas, dimana Barat yang diasumsikan sebagai pemilik modernitas terlalu mendominasi dan memonopoli kebenaran. Maka kebangkitan Islam dalam konteks semacam ini adalah sikap yang reaktif. Sebab resistensi tersebut dilakukan dengan menyertakan sentimen identitas. Sehingga subjektifitasnya lebih memainkan peran, ketimbang sebagai sebuah representasi objektif.

Berbeda dengan ketiga model gerakan yang sudah dijelaskan di awal, model yang keempat lebih merupakan determinasi doktrinal dan sejarah. Senada dengan hal ini Esposito mencatat, bahwa kebangkitan Islam di Asia Tenggara dewasa ini bukan sebagai reaksi terhadap modernitas Barat, melainkan sebagai bagian tak tepisahkan dari proses pembaruan yang selalu muncul, yang menunjukan keberlangsungan tradisi Islam dalam sejarah (1983).

Hal itu menjelaskan bahwa kebangkitan Islam adalah sebuah dorongan dan dinamika internal. Dari kerangka bepikir ini, kebangkitan Islam di Asia Tenggara dapat dilihat sebagai sebuah wacana alternatif dunia Islam, ketimbang sebagai ancaman bagi Barat.

 

sumber : Harian Republika
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement