Sebagian kalangan menyamakan rasisme di AS dan konflik Hindu-Muslim India.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kematian seorang pria kulit hitam di Minneapolis, Amerika Serikat (AS), yang tewas di tangan polisi kulit putih karena mati lemas telah memicu kemarahan di seluruh AS atas pendekatan rasis polisi. George Floyd meninggal setelah polisi kulit putih itu terus menekan lehernya dengan lututnya.
Akibatnya, protes keras oleh orang kulit hitam dan kulit putih meletus di banyak negara bagian di AS menentang kematian Floyd tersebut. Protes tersebut telah memicu kerusuhan dan perusakan kantor polisi setempat.
Inisiden ini adalah manifestasi dari pelecehan ras yang terus menghantui AS di abad ke-21 ini. Insiden ras di AS ini telah memunculkan gerakan yang disebut 'Black Lives Matter'. Rasisme di AS ini lantas disamakan sejumlah pihak dengan kasus yang menimpa umat Muslim di India.
Beberapa orang liberal India, media, dan lainnya, menyamakan nasib pria kulit hitam di AS itu dengan orang-orang Muslim di India. Mereka menginginkan gerakan serupa di India dan menyebutnya 'Muslim Lives Matter'.
Pensiunan tentara India, Saroj Chadha, dalam artikelnya di The Times of India, membahas soal bisakah Muslim India dibandingkan dengan orang kulit hitam Amerika. Kemudian, apakah pemisahan komunal antara Hindu dan Muslim di India sama dengan rasisme antara kulit putih dan kulit hitam di AS?
Saroj Chadha sendiri pernah bertugas di Angkatan Darat India sebagai perwira teknis selama 23 tahun dan memilih pensiun dini pada 1991.
Dia pernah terlibat dalam perang India-Pakistan 1971 di sektor dataran tinggi dan melayani dua tahun dalam operasi kontra-pemberontakan di timur laut.
Saroj mengatakan, bahwa kasus rasisme di AS terhadap orang kulit hitam tidak dapat dibandingkan dengan kondisi Muslim di India. Menurutnya, mereka yang terlibat dalam perbandingan semacam itu hanya berusaha untuk menimbulkan masalah di India dengan tujuan untuk merusak lingkungan komunal agar sesuai dengan agenda pribadi mereka.
"Setiap pembicaraan tentang Islamofobia di antara umat Hindu adalah isapan jempol dari imajinasi pikiran yang licik. Dengan melakukan itu, pikiran-pikiran ini sebenarnya menggambarkan pola pikir fobia Hindu yang mereka rasakan," kata Saroj, dalam artikelnya di The Times of India, dilansir Rabu (3/6).
Saroj menuturkan, di AS baik orang kulit putih maupun orang kulit hitam bukanlah orang Amerika asli. Nenek moyang dari kebanyakan orang kulit putih datang sebagai imigran dari Eropa dan Inggris setelah Amerika ditemukan pada 1492. Sementara leluhur kulit hitam secara paksa diangkut dari Afrika untuk dijual sebagai budak di Amerika Serikat pada abad ke-17 dan ke-18.
Orang kulit putih sebagian besar beragama Kristen dan selama periode waktu yang paling banyak orang Amerika kulit hitam juga mengadopsi agama yang sama. Baik orang kulit putih maupun orang kulit hitam tidak dapat mengklaim sebagai penduduk asli dari massa daratan yang dikenal sebagai AS itu.
Dibandingkan dengan ini di India, Saroj mengatakan bahwa baik Hindu dan Muslim adalah putra tanah yang memiliki warisan bersama termasuk etnis yang sama. Nenek moyang Muslim India memeluk Islam selama pemerintahan Mughal karena berbagai alasan, di mana orang menjadi mualaf secara massal di bawah penguasa fanatik seperti Aurangzeb.
Di AS, orang kulit putih dan kulit hitam bersumpah dengan konstitusi yang sama dan mempertahankannya di atas kepercayaan agama mereka. Ini memastikan kode sipil yang umum untuk semua orang di Amerika selain dari hukum umum negara tersebut.
Kesetiaan mereka kepada bangsa adalah yang tertinggi dan di atas segalanya. Sayangnya, di India, kata Saroj, sementara semua orang menerima konstitusi yang sama, ada kalanya umat Islam memegang agama mereka di atas negaranya ketika itu sesuai dengan mereka.
Saroj menyebut banyak di antara mereka menuntut untuk diatur hukum syariah yang bertentangan dengan hukum negara dengan hukum perdata umum. Bagi banyak orang Muslim, kesetiaan pada agama mereka ada di hadapan bangsa.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kematian seorang pria kulit hitam di Minneapolis, Amerika Serikat (AS), yang tewas di tangan polisi kulit putih karena mati lemas telah memicu kemarahan di seluruh AS atas pendekatan rasis polisi. George Floyd meninggal setelah polisi kulit putih itu terus menekan lehernya dengan lututnya.
Akibatnya, protes keras oleh orang kulit hitam dan kulit putih meletus di banyak negara bagian di AS menentang kematian Floyd tersebut. Protes tersebut telah memicu kerusuhan dan perusakan kantor polisi setempat.
Inisiden ini adalah manifestasi dari pelecehan ras yang terus menghantui AS di abad ke-21 ini. Insiden ras di AS ini telah memunculkan gerakan yang disebut 'Black Lives Matter'. Rasisme di AS ini lantas disamakan sejumlah pihak dengan kasus yang menimpa umat Muslim di India.
Beberapa orang liberal India, media, dan lainnya, menyamakan nasib pria kulit hitam di AS itu dengan orang-orang Muslim di India. Mereka menginginkan gerakan serupa di India dan menyebutnya 'Muslim Lives Matter'.
Pensiunan tentara India, Saroj Chadha, dalam artikelnya di The Times of India, membahas soal bisakah Muslim India dibandingkan dengan orang kulit hitam Amerika. Kemudian, apakah pemisahan komunal antara Hindu dan Muslim di India sama dengan rasisme antara kulit putih dan kulit hitam di AS?
Saroj Chadha sendiri pernah bertugas di Angkatan Darat India sebagai perwira teknis selama 23 tahun dan memilih pensiun dini pada 1991.
Dia pernah terlibat dalam perang India-Pakistan 1971 di sektor dataran tinggi dan melayani dua tahun dalam operasi kontra-pemberontakan di timur laut.
Saroj mengatakan, bahwa kasus rasisme di AS terhadap orang kulit hitam tidak dapat dibandingkan dengan kondisi Muslim di India. Menurutnya, mereka yang terlibat dalam perbandingan semacam itu hanya berusaha untuk menimbulkan masalah di India dengan tujuan untuk merusak lingkungan komunal agar sesuai dengan agenda pribadi mereka.
"Setiap pembicaraan tentang Islamofobia di antara umat Hindu adalah isapan jempol dari imajinasi pikiran yang licik. Dengan melakukan itu, pikiran-pikiran ini sebenarnya menggambarkan pola pikir fobia Hindu yang mereka rasakan," kata Saroj, dalam artikelnya di The Times of India, dilansir Rabu (3/6).
Saroj menuturkan, di AS baik orang kulit putih maupun orang kulit hitam bukanlah orang Amerika asli. Nenek moyang dari kebanyakan orang kulit putih datang sebagai imigran dari Eropa dan Inggris setelah Amerika ditemukan pada 1492. Sementara leluhur kulit hitam secara paksa diangkut dari Afrika untuk dijual sebagai budak di Amerika Serikat pada abad ke-17 dan ke-18.
Orang kulit putih sebagian besar beragama Kristen dan selama periode waktu yang paling banyak orang Amerika kulit hitam juga mengadopsi agama yang sama. Baik orang kulit putih maupun orang kulit hitam tidak dapat mengklaim sebagai penduduk asli dari massa daratan yang dikenal sebagai AS itu.
Dibandingkan dengan ini di India, Saroj mengatakan bahwa baik Hindu dan Muslim adalah putra tanah yang memiliki warisan bersama termasuk etnis yang sama. Nenek moyang Muslim India memeluk Islam selama pemerintahan Mughal karena berbagai alasan, di mana orang menjadi mualaf secara massal di bawah penguasa fanatik seperti Aurangzeb.
Di AS, orang kulit putih dan kulit hitam bersumpah dengan konstitusi yang sama dan mempertahankannya di atas kepercayaan agama mereka. Ini memastikan kode sipil yang umum untuk semua orang di Amerika selain dari hukum umum negara tersebut.
Kesetiaan mereka kepada bangsa adalah yang tertinggi dan di atas segalanya. Sayangnya, di India, kata Saroj, sementara semua orang menerima konstitusi yang sama, ada kalanya umat Islam memegang agama mereka di atas negaranya ketika itu sesuai dengan mereka.
Saroj menyebut banyak di antara mereka menuntut untuk diatur hukum syariah yang bertentangan dengan hukum negara dengan hukum perdata umum. Bagi banyak orang Muslim, kesetiaan pada agama mereka ada di hadapan bangsa.