REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Abdul Halim Iskandar, mengingatkan, untuk tidak coba mengambil keuntungan pribadi dengan memotong Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa. Warga desa, kata dia, dapat dengan mudah mengetahui praktik tersebut.
"Segenap proses BLT Dana Desa berprinsip dari desa, oleh desa, untuk desa. Dengan transparansi seluruh tahapan seperti ini, seharusnya tidak ada pihak yang berani coba-coba mengambil keuntungan pribadi," ujar Abdul dalam keterangan persnya, Rabu (3/6).
Menurut Abdul, dengan transparansi tersebut, jika praktik itu dilakukan, maka warga desa bisa dengan mudah mengetahuinya. Warga desa dapat leluasa mengawasi BLT Dana Desa secara partisipatoris, mengontrolnya, dan melaporkannya hingga ke pihak yang berwajib.
Hal tersebut ia ungkapkan menanggapi tertangkapnya kepala dusun dan anggota Badan Permusyawaratan Desa Banpres, Kecamatan Tuah Negeri, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan. Mereka ditangkap akibat berupaya memotong BLT Dana Desa. Kasus tersebut, kata dia, merupakan bentuk dari transparansi jaring pengaman sosial.
"Saya sangat menyesalkan perilaku tokoh masyarakat desa ini," ungkap Abdul.
Dalam keterangan pers tersebut dijelaskan, di Desa Banpres proses pengumpulan data hingga penetapannya dalam musyawarah desa dilaksanakan secara terbuka. Daftar penerima BLT Dana Desa juga ditempelkan di balai desa. Dengan begitu, informasi tersebut dapat dengan mudah diakses oleh warga desa.
Untuk mempercepat penyaluran BLT Dana Desa kepada keluarga miskin yang berhak di sana, penyaluran secara tunai juga disaksikan oleh banyak pihak di balai desa. Dalam berbagai kesempatan telah diumumkan, nilai bantuan Rp 600.000 yang diterima untuk waktu tiga bulan, yang tidak bisa disatukan atau dirapel.
Pada hari Kamis (21/5) lalu, di balai Desa Banpres telah dilakukan penyaluran BLT Dana Desa untuk 91 kepala keluarga. Masing-masing mendapatkan uang tunai sebesar Rp 600.000. Di Dusun I teralokasikan bantuan untuk 23 keluarga.
Namun, setelah pembagian tersebut, Kepala Dusun 1 berinisial AM dan anggota Badan Permusyawaratan Desa berinisial EF menemui penerima di rumah masing-masing warga. Di sana dikatakan adanya pemotongan sebesar Rp 200.000 per keluarga.
Dari pemotongan tersebut terkumpul dana sebesar Rp 3,6 juta hanya dari 18 warga. Atas pemotongan dana tersebut, warga keberatan dan mengadukannya ke Kepala Desa Banpres. Pada hari Kamis (28/5), kejadian tersebut dilaporkan ke Polres Musi Rawas.
Sebenarnya, kata Abdul, pada akhir tiap dokumen kebijakan Kemendes PDTT selalu dicantumkan call center 1500040 dan aplikasi sipemandu.kemendesa.go.id sebagai saluran pengaduan masyarakat. Seluruh aduan diproses oleh tim aduan dan ditindaklanjuti ke lapangan.
Aduan yang disampaikan melalui social media selama ini juga langsung ditindaklanjuti ke lapangan. Kementerian Desa PDTT memiliki tim pengelola aduan di pusat, dengan dukungan 35 ribu pendamping desa yang bergerak di desa-desa di seluruh Indonesia.
Abdul menerangkan, Kejadian di Desa Banpres, Musi Rawas, itu belum pernah masuk ke sistem aduan Kemendesa PDTT. Namun begitu terjadi, Kemendesa PDTT langsung mengonsolidasikannya dengan tim aduan dan pendamping desa di lapangan.
"Saat ini kasus sudah masuk ranah aparat penegak hukum dan mulai diproses sesuai aturan hukum. Kemendesa PDTT terus memantau kasus ini sampai terselesaikan," katanya.