REPUBLIKA.CO.ID, LOS ANGELES -- Aktor George Clooney menulis esai tentang rasisme sistemik. Tulisan itu muncul usai adanya protes di Negeri Paman Sam atas kematian George Floyd.
Aktor berusia 59 tahun itu berbagi pemikirannya dalam sebuah esai yang diterbitkan di The Daily Beast. Dia tak hanya menyoroti situasi gelombang protes untuk Floyd yang berubah menjadi kekerasan. Clooney juga menyuarakan berbagai insiden serupa yang telah diprotes selama bertahun-tahun.
"Apakah ini tahun 1992? Apakah kami baru saja mendengar seorang juri memberi tahu kami polisi kulit putih yang kami saksikan dalam rekaman ratusan kali memukuli Rodney King tidak bersalah atas kejahatan mereka yang nyata? Apakah ini tahun 2014, ketika Eric Garner dieksekusi karena menjual rokok oleh seorang polisi kulit putih yang mencekiknya saat kami tonton? Kata-katanya, 'Aku tidak bisa bernapas', selamanya terukir di benak kita. Berapa kali kita melihat orang kulit berwarna dibunuh oleh polisi? Tamir Rice, Philando Castile, Laquan McDonald," tulis aktor itu dilansir di Fox News, Selasa (2/6).
Clooney membagikan kutipan panjang dari Sarah Koenig yang mendedikasikan musim ketiga dari podcast populernya, "Serial", yang meliput persidangan di gedung pengadilan Cleveland. Konten itu membahas tentang rasisme sistemik yang dia lihat dalam sistem kepolisian Amerika Serikat maupun sistem peradilannya.
Aktor itu menyoroti bagaimana dirinya percaya rasisme terus menjadi masalah di AS, mengkritik halus Presiden AS Donald Trump yang membuat kontroversi pekan lalu dengan cicitannya, "Ketika penjarahan dimulai, penembakan dimulai."
Menurut Clooney, kemarahan dan frustrasi yang telrihat di jalan-jalan AS hanyalah pengingat betapa kecilnya manusia tumbuh sebagai negara dari dosa perbudakan. "Fakta bahwa kita sebenarnya tidak membeli dan menjual manusia lain lagi bukanlah lencana kehormatan," tulis Clooney.
Menurut dia, orang-orang membutuhkan perubahan sistemik dalam penegakan hukum dan sistem peradilan pidana di negaranya. Selain itu, orang-orang Amerika membutuhkan pembuat kebijakan dan politisi yang mencerminkan keadilan dasar bagi semua warga negara secara setara. Bukan pemimpin yang memicu kebencian dan kekerasan, seolah gagasan menembak penjarah bisa menjadi sesuatu yang ampuh.
Bintang itu mengakhiri esainya dengan menyebut rasisme sebagai pandemi sejati Amerika. Dia menyarankan agar orang memilih untuk mempengaruhi perubahan dalam sistem.
"Ini adalah pandemi kita. Itu menginfeksi kita semua, dan dalam 400 tahun kita belum menemukan vaksin. Kita hanya mencoba untuk mengobati luka secara individual," ujar dia menyimpulkan.
Dia meyakini orang-orang bisa melawan rasisme di Amerika. "Ingatlah, kami membuat masalah ini, sehingga kami dapat memperbaikinya, dan hanya ada satu cara di negara ini untuk membawa perubahan abadi, pilih," kata Clooney.
Di seluruh AS, orang-orang memprotes kebrutalan polisi, khususnya terhadap komunitas kulit hitam. Sebelumnya, sebuah video menunjukkan Floyd ditahan seorang petugas yang menempatkan lututnya di leher. Dalam cuplikan, Floyd (46 tahun) berteriak, "Aku tidak bisa bernapas" dan "Jangan bunuh aku" sebelum kehilangan kesadaran. Dia lantas dinyatakan meninggal.
Insiden itu, awalnya memicu protes damai, tetapi banyak yang berubah menjadi kekerasan di tengah bentrokan antara demonstran dan penegak hukum. Jam malam telah diterapkan di kota-kota di seluruh AS. Garda Nasional dipanggil di tengah kebakaran, perusakan, dan penjarahan.