REPUBLIKA.CO.ID, OTTAWA - Perdana Menteri (PM) Kanada Justin Trudeau sempat terdiam lama ketika ditanya komentarnya oleh awak media tentang ancaman Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang akan mengerahkan militer untuk memadamkan demo rusuh atas kematian George Floyd. Dia diam selama lebih dari 20 detik sebelum akhirnya mulai menjawab bahwa Kanada mengamati peristiwa di AS dengan kekhawatiran.
"Kita semua menyaksikan dengan ngeri dan ketakutan apa yang sedang terjadi di AS. Ini adalah waktu untuk menarik semua orang untuk bersatu, tapi juga merupakan waktu untuk mendengarkan," kata Trudeau dalam jumpa pers hariannya, dikutip laman Guardian, Rabu.
"Ini juga untuk mengetahui ketidakadilan yang berlanjut meskipun ada kemajuan selama bertahun-tahun dan puluhan tahun," ujarnya menambahkan.
PM Trudeau kemudian mengalihkan fokus ke Kanada. Menurutnya, warga Kanada juga menyadari bahwa mereka pun memiliki tantangan-tantangan tersendiri. "Ada diskriminasi sistemik di Kanada," kata dia.
Menurut PM Trudeau, ketidaksetaraan struktural merupakan kenyataan hidup bagi warga Kanada yang mengalami diskriminasi rasial. Ia mendorong semua warga Kanada untuk memerangi rasisme di Kanada.
Wartawan juga meminta komentar tentang sikap Trump yang memilih berfoto di depan gereja di kala demo tengah berlangsung. Ketika seorang wartawan meminta komentar lebih lanjut tentang kata-kata dan tindakan Trump, Trudeau mengabaikannya. "Pekerjaan saya sebagai perdana menteri Kanada adalah membela orang Kanada," katanya.
Trudeau telah lama berbicara tentang perlunya mengakhiri rasisme. Meski kampanye pemilihannya hampir tergelincir setelah foto-foto historis dengan wajah hitam muncul pada September lalu.
Wakil perdana menteri Kanada Chrystia Freeland, seorang mantan reporter, secara terpisah membela pekerjaan jurnalis Amerika yang menjadi target polisi dan pengunjuk rasa. "Jurnalis bukanlah musuh rakyat, wartawan melayani masyarakat," katanya pada konferensi pers.
Pada Sabtu lalu di Minneapolis, jurnalis Reuters Julio-Cesar Chavez dan penasihat keamanan Reuters Rodney Seward dipukul dan terluka oleh peluru karet. Trump juga kerap menyerang media, menyebut mereka "musuh rakyat".
Gelombang protes rakyat terjadi di seluruh AS dan tak lain di media sosial usai pria kulit hitam Afrika-Amerika Floyd meninggal dunia di lutut polisi derek Chauvin pekan lalu. Awalnya, pada malam Senin, 25 Mei, polisi menerima telepon dari toko kelontong yang menuduh George Floyd telah membayar dengan uang kertas 20 dolar palsu. Petugas berusaha untuk memasukkannya ke dalam kendaraan polisi ketika dia jatuh ke tanah.
Floyd padahal telah berulang kali mengatakan kepada mereka bahwa dirinya sesak dalam dekapan lutut polisi. Menurut polisi, ia secara fisik melawan petugas dan diborgol. Namun, video kejadian tidak menunjukkan bagaimana konfrontasi dimulai.
Dengan lutut petugas polisi yang kini telah ditahan, Derek Chauvin di lehernya, Floyd terdengar mengatakan "tolong, aku tidak bisa bernapas" dan "jangan bunuh aku". Menurut aytopsi awal oleh pemeriksa medis daerah, petugas polisi berlutut di leher Floyd selama delapan menit 46 detik, hampir tiga menit setelah Floyd menjadi tidak responsif.
Hampir dua menit sebelum Chauvin mengangkat lututnya, petugas lainnya memeriksa pergelangan tangan kanan Floyd untuk mencari denyut nadi dan tidak dapat merasakannya. Dia kemudian dibawa ke rumah sakit dan dinyatakan meninggal sekitar satu jam kemudian.
Hasil autopsi resmi menunjukkan bahwa Floyd meninggal akibat dibunuh, terlepas dari sejumlah kondisi medis yang dideritanya. Kerusuhan dan penjarahan kemudian meluas sebagai aksi protes mengecam kematian Floyd di ratusan kota di seluruh negara bagian AS. Bentrokan antara polisi dan demonstran tak terhindarkan.