REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyoroti menurunnya penerimaan pajak Pemprov DKI Jakarta. Lembaga antirasuah mencatat persentase capaian rencana aksi Optimalisasi Pajak Daerah Pemprov DKI Jakarta selama Januari sampai April 2020 masih relatif rendah, yakni 39,5 persen, dengan besaran nilai Rp8,2 triliun.
Kepala Satgas Koordinasi Pencegahan Wilayah III KPK, Aida Ratna Zulaiha mengatakan, jumlah tersebut lebih kecil dibandingkan dengan rentang waktu yang sama di tahun 2019. Diketahui, pada 2019 persentase capaian mencapai Rp8,8 triliun.
“Secara nasional, di akhir tahun 2019 jumlah penerimaan pajak mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Penerimaan pajak Provinsi bertambah sebesar Rp3,7 triliun, yang bersumber dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB),” Kata Aida dalam keterangan tertulisnya, Rabu (3/6).
Aida melanjutkan, sementara untuk penerimaan pajak Kabupaten/Kota, meningkat sebanyak Rp 2,7 triliun. Penerimaan tersebut berasal dari pajak hotel, restoran, hiburan, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Selain itu, penempatan dana Pemerintah Daerah pada Kas Daerah (Bank Pembangunan Daerah) adalah Rp 37 triliun, dalam bentuk giro dan deposito. Untuk Provinsi DKI Jakarta, kata Aida, realisasi PKB dan PBBKB pada tahun 2019 berturut-turut adalah sekitar Rp 8,4 Triliun dan Rp 1,6 Triliun.
"Untuk realisasi penerimaan pajak hotel, restoran, hiburan, dan parkir, pada 2019, Provinsi DKI Jakarta mampu mengumpulkannya hingga Rp509,6 miliar," paparnya.
Kemudian, untuk BPHTB, realisasi penerimaan mencapai Rp1,026 triliun.
Selanjutnya, berdasarkan data yang dikumpulkan KPK, Pemprov DKI Jakarta telah memasang alat rekam pajak sebanyak total 4.856 buah hingga akhir 2019.
"Alat ini ditempatkan di sejumlah hotel, restoran, tempat hiburan, dan parkir di seputar wilayah Jakarta," ungkapnya.
Sementara Perwakilan Bapenda DKI Jakarta Ali Hanafiah, menyebutkan masih rendahnya pencapaian penerimaan pajak disebabkan oleh beberapa kendala. Salah satunya adalah perlunya harmonisasi sejumlah regulasi yang mengatur pengelolaan pajak daerah, serta pembenahan pola penanganan penarikan pajak dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN), seperti PT Pertamina dan PT PLN.
“Di samping itu, bencana Covid-19 juga mengakibatkan sulitnya memperoleh penerimaan pajak, karena sejumlah bisnis di wilayah Jakarta menutup usahanya untuk sementara,” kata Ali Hanafiah.
Sampai saat ini, kata Ali, belum ada rekonsiliasi data wajib pajak antara Bapenda DKI Jakarta, dengan salah satu BUMN di mana para penyedia yang menjadi mitra BUMN terkait menjadi wajib pajak di wilayah DKI Jakarta.
Oleh karenanya, sambung dia, diperlukan upaya ke arah rekonsiliasi data wajib pajak tersebut. Selain itu, rekonsiliasi data masih terkendala lantaran masih adanya keberatan dari sejumlah penyedia ketika data mereka diinformasikan pada pihak lain di luar BUMN bersangkutan. Karena, para penyedia khawatir data mereka akan tersebar ke kompetitornya.