Kamis 04 Jun 2020 01:17 WIB

Rancangan Perpres TNI Dinilai Perlu Direvisi Sesuai UU TNI

Akademisi menillai rancangan Perpres TNI perlu direvisi sesuai UU TNI.

Sejumlah personel TNI (ilustrasi)
Foto: Republika
Sejumlah personel TNI (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dosen Universitas Paramadina, Shiskha Prabawaningtyas menilai rancangan Perpres TNI dalam menangani terorisme perlu direvisi sesuai dengan UU No 34/2004 tentang TNI.

"Mungkin tidak perlu 'frontal' dicabut, namun direvisi sesuai dengan UU rujukan utama (UU TNI), khususnya mungkin terkait koordinasi BNPT dengan TNI. Jangan memberikan perluasan mandat baru yang tidak sesuai sebagai turunan dari UU utama," ucap Shiskha dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Rabu (4/6).

Baca Juga

Oleh karena itu, ia meminta parlemen turut mengkritisi Perpres TNI yang telah diserahkan pemerintah sejak awal Mei 2020 lalu ke DPR. Menurutnya, ada kekhawatiran terkait kemungkinan terjadi 'ekses' dalam pelaksanaan operasi fungsi penangkalan dan pencegahan ini selama UU utama yang pengatur tentang fungsi pelibatan TNI dan peradilan militer belum diatur, khususnya terkait subjek hukum militer.

"Ekses ini mungkin bisa dalam bentuk penggunaan kekerasaan, penahanan tanpa dasar, pelanggaran terhadap perlindungan data pribadi, dan pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi," kata Shiskha.

Shiskha menilai tidak ada urgensi perluasan mandat baru TNI dalam kondisi krisis menghadapi pandemi Covid-19. Salah satu yang dikritisi secara tegas adalah Pasal 3 dalam Perpres itu tentang fungsi penangkalan yang meliputi operasi intelijen, operasi teritorial, operasi informasi, dan operasi lainnya. Bahkan terminologi "penangkalan" tidak ditemukan dalam UU No.5/2018 tentang Tindak Pidana Terorisme yang merupakan UU rujukan utama.

"UU ini menggunakan terminologi fungsi pencegahan yang kewenangannya diberikan kepada BNPT," kata Shiskha yang kini dipercaya sebagai Direktur Paramadina Graduate School of Diplomacy itu.

Pasal lain yang juga bermasalah, sebutSiskha, salah satunya adalah Pasal 7 dalam Perpres yang malah berbeda dengan memberikan fungsi pencegahan terhadap TNI. Shiskha berpendapat pemerintah seharusnya mendahulukan rancangan undang-undang Perbantuan TNI yang mengatur secara khusus tugas perbantuan TNI di dalam operasi militer selain perang (OMSP).

"UU Perbantuan TNI ini lebih urgent untuk diprioritaskan karena ada kebutuhan strategis dari penanganan krisis pandemi Covid-19," ujarnya.

Sebagai contoh perlunya UU Perbantuan TNI diprioritaskan di tengah pandemi, kata Shiskha, yakni rencana pengerahan TNI dalam membantu Polri terkait pendisiplinan protokol kesehatan di 1.800 titik yang berada di empat provinsi dan 25 kabupaten/kota. Langkah itu untuk memastikan proses pelaksanaan pengerahan TNI berlangsung proposional dan akuntable tanpa ekses penggunaan kekerasan.

"Pendisiplinan ini dilakukan di ruang publik sipil seperti mall, pasar, sarana transportasi massal, tempat pariwisata dan lain sebagainya yang berada di 1.800 titik tersebut," jelas Shiskha.

Dasar pengerahan ini didasarkan pada Keppres Pembentukan Gugus Tugas dan tidak mengatur detail tentang mekanisme dan persyaratan pelibatan TNI.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement