REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Ketua Yayasan LBH Indonesia (YLBHI), Asfinawati, mengatakan, terdapat empat pola tindakan teror dalam ruang demokrasi saat ini, yaitu intimidasi, peretasan, kriminalisasi, dan pengawasan. Keempat pola tersebut dilakukan pemerintah untuk mempersempit masyarakat berpendapat atas masalah yang terjadi di Indonesia.
Keempat pola tindakan teror dalam demokrasi adalah intimidasi, peretasan, kriminalisasi, dan pengawasan. Asfinawati memberikan contoh. Dalam pola intimidasi ini serikat buruh yang melakukan aksi berpendapat ke pemerintah dikenakan intimidasi antara lain menimpa serikat buruh ataupun sekretariat serikat buruhnya. Bahkan, anak dari pengurus serikat buruh didatangi dan diintimidasi. "Ini luar biasa sekali," katanya dalam diskusi Forum Salemba UI yang bertajuk "SOS: Teror dalam Ruang Demokrasi", Rabu (3/6).
Kemudian, untuk bagian teror peretasan, peretasan terjadi pada 2019 dan 2020. Contohnya adalah Ravio Putra, kasus Azhar, Syahdan dari Gejayan Memanggil, dan Ketua BEM UI Fajar. Mereka semua menjadi korban karena kritis terhadap kebijakan pemerintah, seperti tentang omnibus law ciptaker dan penanganan Covid-19.
"Nah, kalau pola kriminalisasi ini, jangan lupa kalau ada surat telegram kapolri. Peraturan kriminalisasi itu sudah sesuai dan celakanya tidak ada kementerian di atas Polri, tapi langsung presiden. Misalnya, presiden dikritik oleh masyarakat. Ya langsung ditindaklanjuti di atas kapolri ya presiden," kata dia.
Lalu, pola pengawasan. Pengawasan ini artinya diawasi oleh aparat keamanan karena sudah di luar batas untuk berpendapat. Hal ini sudah terjadi pada solidaritas di Yogyakarta. Di samping itu, LBH Medan didatangi oleh kepolisian.
Ia yakin masih banyak lagi yang diawasi karena berpendapat saat ini memang dibatasi. Karena itulah, pengawasan ini dilakukan agar pendapat kritis tersebut tidak membuka pikiran masyarakat atas semua yang terjadi.
Dalam empat pola teror tersebut, menurut dia, tidak pernah terungkap pelakunya, apalagi ada yang dihukum. Nanti pasti akan begini, ada yang mengatakan ya dia lapor saja atau tidak ada yang melaporkan.
Di dalam hukum Indonesia pelapor itu bisa ada laporan A, ada laporan B. Yang laporan A itu adalah pelapornya polisi sendiri. "Kenapa untuk kasus Ravio Putra atau penghinaan kepada presiden polisi mau melakukan pelaporan sendiri, tapi untuk yang lainnya tidak? Kalian bisa melihat dan menilai sendiri,” kata dia.
Pengurangan kebebasan masyarakat sering kali akan meningkat menjadi kondisi darurat. Kondisi darurat itulah yang akan menjadikan negara ini otoriter seperti Orde Baru yang selalu menyatakan negara dalam keadaan bahaya.
"Kami tidak tahu bahayanya apa, kapan dimulainya, dan kapan berakhir keadaan bahaya itu, dan apakah RUU PKB mau diperkenalkan lagi setelah tahun 1998?” kata dia.
Menurut dia, terdapat gambaran masa depan kebebasan berpendapat nantinya di Indonesia seperti apa. Ia menganologikannya dengan perang bintang. Perang bintang sudah terjadi pada September 2019 saat pemilihan pimpinan KPK, ini tokoh yang paling baik untuk menangkap seberapa kuat kekuasaan saat ini.
Setelah perang bintang yang sepertinya tidak akan pernah terdamaikan dan akan meledakkan galaksi, ternyata mereka bisa satu suara untuk memilih pimpinan KPK di komisi III. Masyarakat mengetahui orang yang ada di komisi tiga semua itu kredibel banyak bicara luar biasa atau disebut juga pintar berbicara.
“Tidak ada satu pun suara yang kurang untuk memilih pimpinan KPK yang sama dan di sinilah letak masa depan kebebasan berpendapat dan hak asasi manusia kami secara hukum harus merdeka,” kata dia.