REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Menteri Pertahanan Amerika Serikat Mark Esper pada Rabu (3/6) mengatakan ia tidak mendukung pemberlakuan Undang-Undang Huru-Hara yang memungkinkan tentara aktif dikerahkan guna mengakhiri aksi pengunjuk rasa.
Pernyataan itu disampaikan Esper, meskipun Presiden AS Donald Trump mengancam akan menggunakan militer untuk menghadapi pengunjuk rasa. Trump pada minggu ini mengatakan ia dapat mengerahkan pasukan militer di negara bagian yang dinilai gagal mengendalikan aksi massa. Ribuan warga AS beberapa hari terakhir turun ke jalan memprotes tewasnya seorang warga kulit hitam, George Floyd, oleh seorang anggota kepolisian Minneapolis, Derek Chauvin.
Chauvin saat ini telah dipecat dari kesatuannya dan dituntut tiga pasal pidana pembunuhan.
"Pengerahan pasukan militer aktif guna membantu penegakan hukum merupakan opsi paling terakhir yang akan dipilih hanya dalam situasi paling mendesak dan berbahaya. Kita tidak dalam situasi seperti itu sekarang," kata Esper saat jumpa pers.
"Saya tidak mendukung pemberlakuan Undang-Undang Huru-Hara," ujar dia.
Pernyataan Esper saat jumpa pers tidak disambut baik oleh presiden AS beserta ajudannya, kata seorang pejabat yang meminta tidak disebut namanya. Untuk mengerahkan pasukan militer di tanah AS demi penegakan hukum, Trump perlu memberlakukan kembali UU Huru-Hara (Insurrection Act) 1807. Langkah itu terakhir kali dilakukan pada 1992 guna mengendalikan massa yang memprotes tewasnya seorang warga kulit hitam, Rodney King, setelah dipukul oleh beberapa polisi.
Sejauh ini, militer AS telah menyiagakan 1.600 tentara aktifnya di pinggiran kota Washington D.C. Esper mengatakan ia menyesal menggunakan istilah "medan perang" pada minggu ini untuk mendeskripsikan lokasi berlangsungnya unjuk rasa.
"Jika melihat ke belakang, saya akan menggunakan kata lain sehingga tidak mengalihkan perhatian warga ke isu yang lebih penting, dan tidak membiarkan pihak lain beranggapan kami ingin menempatkan masalah ini ke urusan militer," kata Esper.
Ancaman Trump yang ingin mengerahkan tentara untuk menghadapi massa di negara-negara bagian membuat pejabat tinggi militer AS dan Kongres khawatir. Tidak hanya itu banyak negara bagian juga menentang rencana Trump.
Seorang politisi Partai Republik memperingatkan rencana Trump dapat membuat tentara AS dijadikan sebagai "alat politik". Esper mengatakan ia luput menyadari dirinya akan jadi bagian langkah politik Trump yang berfoto sambil memegang Alkitab, Senin (1/6). Foto itu diambil setelah aparat mengusir paksa pengunjuk rasa yang berada di sebuah taman di luar Gedung Putih.
Para pengunjuk rasa yang menggelar aksi damai itu terpaksa diusir agar Trump dapat berfoto di depan gereja dengan memegang Alkitab. Esper mengaku kesulitan mengerahkan pasukan militer tanpa terlibat dalam perdebatan politik.
"Saya bekerja sangat keras untuk menjaga departemen ini tidak terlibat urusan politik praktis, tetapi hal itu sangat sulit dilakukan akhir-akhir ini saat kita mendekati pemilihan presiden," kata Esper.
Mantan Kepala Staf Gabungan Mliter AS, Laksamana Angkatan Laut (purn) Mike Mullen, mengatakan ia "muak" melihat aksi penegak hukum, termasuk Garda Nasional, yang mengusir paksa pengunjuk rasa guna mengosongkan wilayah itu. Ia memperingatkan pemerintah yang berupaya mengerahkan pasukan militer secara berlebihan.
"Warga kita bukan musuh, dan jangan pernah diperlakukan demikian," tulis Mullen dalam kolomnya di salah satu media.