Kamis 04 Jun 2020 18:29 WIB

KPK Tuntut Asisten Imam Nahrawi 9 Tahun Penjara

KPK menilai Miftahul Ulum terbukti menerima suap dan gratifikasi total Rp 20 miliar.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Andri Saubani
Terdakwa kasus dugaan suap penyaluran pembiayaan skema bantuan pemerintah melalui Kemenpora kepada KONI, Miftahul Ulum (kiri) bersama penasehat hukum mengikuti sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (2/3/2020).
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Terdakwa kasus dugaan suap penyaluran pembiayaan skema bantuan pemerintah melalui Kemenpora kepada KONI, Miftahul Ulum (kiri) bersama penasehat hukum mengikuti sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (2/3/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta agar Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta untuk menjatuhkan hukuman 9 tahun pidana penjara dan denda Rp 300 juta subsider 6 bulan kurungan terhadap Miftahul Ulum, mantan asisten pribadi mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi. Dalam tuntutannya, jaksa meyakini Ulum terbukti bersalah menerima suap dan gratifikasi dengan nilai total sekitar Rp 20 miliar bersama-sama dengan Imam Nahrawi.

"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama 9 tahun dan pidana denda sebesar Rp 300 juta subsider 6 bulan kurungan," kata Jaksa KPK Ronald Worotikan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (4/6).

Baca Juga

Dalam tuntutannya, Jaksa meyakini Ulum bersama-sama Imam Nahrawi terbukti menerima suap sebesar Rp 11,5 miliar dari mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI), Ending Fuad Hamidy dan Bendahara Umum KONI, Johnny E Awuy. Suap diberikan kepada Ulum dan Imam Nahrawi untuk mempercepat proses persetujuan dan pencairan bantuan dana hibah yang diajukan oleh KONI Pusat kepada Kempora tahun anggaran 2018.

Ulum bersama-sama dengan Imam Nahrawi menerima fee dari Ending Fuad Hamidy dan Johnny E Awuy terkait sejumlah proposal yang diajukan KONI, yakni, terkait bantuan dana hibah pelaksanaan tugas pengawasan dan pendampingan program peningkatan prestasi olahraga nasional pada multievent 18th Asian Games 2018 dan 3rd Asian Para Games 2018. Kemudian, terkait proposal dukungan KONI Pusat dalam rangka pengawasan dan pendampingan seleksi calon atlet dan pelatih atlet berprestasi tahun kegiatan 2018.

Selain itu, jaksa juga meyakini Ulum terbukti bersalah menerima gratifikasi sebesar Rp 8.648.435.682 bersama-sama dengan Imam Nahrawi. Ulum berperan sebagai perantara uang yang diterima dari berbagai sumber untuk Imam Nahrawi.

Masih dalam tuntutan, terdapat lima sumber uang gratifikasi yang diterima Ulum yang kemudian diserahkan ke Imam Nahrawi. Dari rincian yang dibeberkan jaksa, uang sebesar Rp 300 juta diterima Ulum dari Sekretaris Jendral KONI Ending Fuad Hamidy diperuntukan sebagai biaya tambahan operasional Imam Nahrawi saat berkegiatan dalam acara Muktamar NU di Jombang, Jawa Timur.

Ulum kemudian menerima uang sebesar Rp 4,9 miliar dari Lina Nurhasanah selaku Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Program Indonesia Emas (Prima) Kemenpora periode 2015-2016 yang diperuntukkan sebagai dana operasional tambahan perjalanan dinas Imam Nahrawi. Ulum juga menerima Uang sebesar Rp 2 miliar dari Lina Nurhasanah untuk pelunasan pembayaran jasa desain konsultan arsitek untuk pemugaran kediaman Imam dan usaha butik dan kafe istri Imam Nahrawi. Uang itu, diberikan Lina kepada Ulum berasal dari dana akomodasi atlit pada anggaran Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima).

Selanjutnya, Ulum menerima uang  Rp 1 miliar dari Edward Taudan Pandjaitan alias Ucok selaku Pejabat Pembuat Komitmen pada program Satlak Prima Kemenpora tahun anggaran 2016 – 2017. Ulum juga menerima uang sebesar Rp 400 juta dari Supriyono selaku BPP Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional (PPON) periode 2017-2018 sebagai honor untuk kegiatan Satlak Prima. Padahal, program tersebut telah resmi dibubarkan pada Oktober 2017.

Masih dalam tuntutan, jaksa mempertimbangkan sejumlah hal. Untuk hal yang memberatkan, jaksa menilai perbuatan Ulum telah menghambat perkembangan dan prestasi atlit Indonesia yang diharapkan dapat mengangkat nama bangsa di bidang Olahraga.

Selain itu, jaksa menilai Ulum tidak kooperatif dan tidak mengakui terus terang seluruh perbuatan yang dilakukannya. Tak hanya itu, jaksa menilai Ulum memiliki peran yang sangat aktif dalam melakukan tindak pidana yang didakwakan.

Sementara hal yang meringankan Ulum dinilai  bersikap sopan selama pemeriksaan di persidangan. Selain itu, Ulum juga masih memiliki tanggungan keluarga.

Atas perbuatannya, Ulum diyakini Jaksa terbukti melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP dan dakwaan kedua dari Pasal 12 B UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Juncto pasal 65 ayat (1) KUHP.

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement