Kamis 04 Jun 2020 18:41 WIB

Upaya Ketat Ulama dalam Penulisan Sirah Nabi Muhammad SAW

Para ulama meletakkan kriteria ketat dalam penulisan sirah Muhammad SAW.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Nashih Nashrullah
Para ulama meletakkan kriteria ketat dalam penulisan sirah Muhammad SAW. ilustrasi kaligraf muhammad
Foto: wikipedia
Para ulama meletakkan kriteria ketat dalam penulisan sirah Muhammad SAW. ilustrasi kaligraf muhammad

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Usai wafatnya Rasulullah SAW, para sahabat, tabi’in, tabi’ tabiin serta pengikutnya berupaya mengumpulkan mozaik-mozaik khazanah keislaman. Jika setiap periode kekhalifahan diisi dengan nuansa kekhasan tertentu, begitu juga pada masa Dinasti Abbasiyah. 

Di masa ini, terjadilah kodifikasi hadits yang diaplikasikan ke dalam buku-buku biografi Nabi Muhammad. Sebagaimana diketahui, di masa Rasulullah hidup, hadits tidaklah dituliskan apalagi dibukukan.

Baca Juga

Maka ketika Rasulullah  wafat, tak sedikit manipulasi fakta yang mencatut nama Rasulullah SAW. Untuk itulah diciptakan ilmu hadis untuk mengukur serta menelusuri kebenaran suatu perkataan, tindakan, serta ketetapan yang mengatasnamakan Nabi Muhammad SAW.

Di masa Dinasti Abbasiyah, dalam buku Sejarah Hidup Muhammad karya Muhammad Husain Haekal disebutkan, puluhan hingga ratusan ribu hadits-hadits buatan (palsu) tersebar. Di antaranya bahkan sangat kontradiktif dan tidak diduga semula. 

Pada waktu itulah para penghimpun hadits dan penulis-penulis biografi Rasulullah segera bertindak. Misalnya, Al-Waqidi, Ibnu Hisyam, hingga Al-Mada’ini segera menuliskan buku-buku mengenai biografi Rasulullah SAW berdasarkan sejumlah hadits-hadits yang otentik.

Namun demikian karena mereka hidup dalam sebuah otoritas absolut di masa Khalifah Al-Ma’mun, maka tak sedikit rasa takut mendera mereka kala menuliskan buku-buku biografi Rasulullah SAW. Sebab tidak ada yang berani menentang khalifah, oleh karena itu kriteria penelitian penulisan buku biografi Rasulullah pun harus dicocokkan dengan Alquran.

Muhammad Husain Haekal berpendapat, apabila kriteria tersebut digunakan sebagaimana mestinya, maka segala hal yang sudah ditulis tokoh-tokoh tersebut niscaya akan berubah. Kritik ilmiah menurut metode modern sama sekali tidak berbeda dari kriterium tersebut.

Akan tetapi situasi di masa itu mengharuskan tokoh-tokoh tersebut untuk menyesuaikan kriteria mereka dengan suatu golongan, sedang untuk golongan lain tidak pula demikian. 

Cara-cara ini dalam penulisan sejarah hidup Nabi Muhammad SAW, menurut Haekal, telah diwaris para pendahulu dengan pertimbangan-pertimbangan lain dari pertimbangan mereka itu.

Menurutnya, jika orang hendak berlaku jujur terhadap sejarah, tentu mereka akan menyesuaikan hadits yang ada dengan sejarah hidup Nabi Muhammad SAW. Baik dalam garis besar maupun dalam perinciannya tanpa mengecualikan sumber lain yang dianggap tidak cocok dengan yang ada dalam Alquran.

Dia menjelaskan, mana yang tidak sejalan dengan hukum alam dan tidak disebut dalam Alquran maka tidak perlu mereka catat. Yang tidak sejalan dengan hukum alam itu dinilai perlu diteliti dulu dengan seksama sesudahnya baru dapat diperkuat dengan yang ada pada mereka dengan disertai pembuktian yang positif.

Pendapat tersebut sejatinya telah dijadikan pegangan oleh imam-imam terkemuka dari kalangan Muslim terdahulu. Hingga saat ini, tak sedikit para ulama yang masih berpegang teguh pada pandangan tersebut.

Syekh Muhammad Mustafa Al-Maraghi mengatakan, kekuatan mukjizat Rasulullah SAW hanyalah dalam Alquran, dan mukjizat tersebut bersifat rasional adanya. Beliau mengutip sebuah sajak dari Al-Bushiri:

Tidak juga sampai kita dicoba

Yang akan meletihkan akal karenanya

Karena sayangnya kepada kita

Kita pun tak ragu, kita pun tak sangsi.

Syekh Muhammad Abduh dalam bagian pertama bukunya berjudul Al-Islam wa Nashrania mengatakan, dengan adanya ajaran dan tuntutan terhadap keimanan kepada Allah, Islam tidak memerlukan apa-apa lagi selain pembuktian rasional dan pemikiran insani yang sejalan dengan ketentuan yang wajar.

Menurutnya, kaum Muslimin sudah sepakat, kecuali sejumlah kecil pendapat yang lain, bahwa kepercayaan kepada Allah SWT mendahului kepercayaan kepada nabi-nabi. Tidak mungkin orang percaya kepada Rasulullah SAW sebelum dia percaya dan beriman kepada Allah SWT. 

Sedangkan beriman kepada Allah SWT dapat terjadi melalui adanya ucapan para nabi dan juga hadirnya risalah dalam kitab-kitab suci. Maka sudah menjadi kriteri yang sangat baik apabila penulisan sejarah atau biografi Nabi Muhammad SAW dapat dilandasi dengan otentisitas hadits serta kecocokannya dengan Alquran. Asalkan, hal ini diterapkan secara konsisten dan baik.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement