REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berakhirnya Ramadhan beberapa pekan lalu, kerap dimanfaatkan sebagian besar umat Muslim untuk berpuasa Syawal atau sekedar mengganti (qadha) utang puasa Ramadhan. Namun, masih banyak pertanyaan seputar hukum mengqadha puasa Ramadhan.
Lalu bagaimana hukumnya jika utang puasa Ramadhan sebelumnya belum diqadha? Apakah boleh diganti dengan membayar fidyah saja?
Muhammad Ajib dalam ceramah virtualnya bertajuk 'Bagaimana Hukumnya Orang Yang Mengakhirkan Qadha Puasa Ramadhan?' melalui situs Rumah Fiqih menjelaskan, hukum mengqadha puasa Ramadhan dapat dikaji dari alasan seseorang menunda mengqadha puasanya.
Dia menjelaskan, jika seseorang menunda mengqadha puasanya karena uzur, seperti sakit atau melakukan perjalanan yang sangat jauh sehingga tidak memungkinkan melakukan puasa, maka orang tersebut hanya perlu mengqadha utang puasanya di Ramadhan sebelumnya dan diakumulasikan dengan utang puasanya di Ramadhan saat ini, jika ada.
Dia menjelaskan, menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu, jika ada orang yang menunda wadha puasa ramadhan karena ada uzur (sakit atau perjalanan yang lama) maka tidak apa-apa. Namun, yang bersangkutan tetap harus mengqadha puasanya hingga bertemu Ramadhan selanjutnya.
"Misalnya ada utang puasa 10 hari, lalu belum mengganti puasanya karena sakit, maka hutang puasanya dapat dilakukan setelah Ramadhan berikutnya berakhir," katanya.
Namun akan berbeda jika seseorang dengan sengaja menunda mengqadha puasanya. Maka, seseorang tersebut selain tetap harus mengqadha puasa, tapi juga dibebankan untuk membayar fidyah (tebusan). Fidyah diartikan sebagai denda yang wajib dilakukan karena meninggalkan kewajiban atau melakukan suatu larangan.
"Jika seseorang menunda mengqadha puasa karena sengaja, maka dia berdosa, dan dia harus tetap membayar hutang puasa dan membayar fidyah senilai satu mud. Jadi tolak ukurnya itu tergantung alasan penundaannya, apakah karena ada uzur atau memang karena malas," ujarnya.