REPUBLIKA.CO.ID, AMBON — Harga cengkih yang ditawarkan para pembeli di Kota Ambon kembali bergerak turun hingga mencapai Rp60.000, turun dari sebelumnya Rp63.000/Kg.
Pantauan di lokasi transaksi hasil perkebunan di jalan Setia Budi, kawasan Rijoly, Kelurahan Batu gajah, Jumat, terlihat pembeli menawarkan harga cengkih sebesar Rp60.000/Kg atau turun dari sebelumnya Rp63.000/Kg.
Sedangkan untuk komoditi yang lain juga harga berfluktuasi. Seperti kopra Rp4.800/Kg kini naik menjadi Rp5.000/Kg, fuli (pembungkus biji pala) turun dari Rp225.000 /Kg menjadi Rp215.000/Kg, kecuali biji pala yang hingga kini masih tetap normal yakni Rp60.000/Kg.
Coklat mengalami perubahan yakni naik dari Rp27.000/Kg menjadi Rp29.000/Kg, dan cukup menguntungkan bagi para petani yang saat ini mengalami musim panen," kata pembeli sekaligus pemilik toko di jalan Setia Budi, Kawasan Rijoly, Evy.
Ini sudah patokan harga yang kami terapkan sesuai dengan perkembangan harga yang ada di pasar utama Surabaya, sebab hasil pembelian di Kota Ambon dijual ke Surabaya. Jadi tetap memantau perkembangan harga di ibu kota provinsi Jawa Timur itu.
Evi mengatakan, kegiatan transaksi jual beli hasil perkebunan Maluku sekarang ini di Kota Ambon agak sepi, apalagi beberapa hari belakangan ini tidak ada kegiatan transaksi.
"Kalau minggu yang lalu masih ada petani yang datang, hanya saja tidak terlalu banyak sebab kebanyakan yang masuk ke toko ini hanya puluhan kilo hasil perkebunan berbagai jenis yang diangkut menggunakan mobil bak terbuka sebab hanya sebatas dalam kawasan Pulau Ambon saja," katanya.
Sedangkan dari luar Pulau Ambon seperti petani asal Pulau Ambalau, Buru dan sebagian dari Pulau Seram tidak datang melakukan transaksi. Hal ini terkait dengan berbagai aturan transportasi berhubungan dengan pemerintah mengeluarkan aturan dalam rangka memutuskan penyebaran COVID-19 di daerah ini.
"Sebelum kondisi dan situasi virus corona ini, biasanya petani dari Pulau-Pulau di Maluku memasok hasil panen mereka untuk jual di Ambon mempergunakan mobil-mobil truk, tetapi sekarang sepi," ujarnya.
"Kami juga sering tutup toko hingga tiga hari atau empat hari baru dibuka lagi, kalau ada petani yang menghubungi barulah dilayani, sebab sudah terbiasa," tandas Evi.