REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Murtad berasal dari akar kata riddah atau irtidad yang berarti kembali. Istilah murtad berarti keluar dari agama Islam dalam bentuk niat, perkataan, atau perbuatan yang menyebabkan seseorang menjadi kafir atau tidak beragama sama sekali.
Pada awal sejarah Islam, istilah riddah dihubungkan dengan kembalinya beberapa kabilah Arab, selain Quraisy dan Saqif, dari Islam kepada kepercayaan lama setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW.
Saat itu, sejumlah kabilah yang murtad menuntut dihilangkannya kewajiban sholat dan meminta dihilangkannya kewajiban membayar zakat. Khalifah Abu Bakar as-Sidiq memerangi kabilah-kabilah yang murtad itu sehingga meletuslah Perang Riddah.
Menurut Ensiklopedia Islam terbitan Ichtiar Baroe Van Hoeve, beberapa perbuatan yang dikelompokkan sebagai perilaku murtad antara lain adalah pengingkaran adanya pencipta, peniadaan rasul-rasul Allah SWT, dan penghalalan perbuatan yang disepakati haram serta pengharaman perbuatan yang disepakati halal.
Kemurtadan, menurut Ensiklopedia Islam, berarti batalnya nilai religius perbuatan orang yang bersangkutan. Kembali kepada kekafiran setelah beriman berarti terputusnya hubungan dengan Allah SWT.
Hal itu antara lain dijelaskan dalam surah Al-Baqarah [2] ayat 217, Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu mati dalam kekafiran, mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan akhirat dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” Seseorang dianggap murtad apabila telah mukalaf dan menyertakan kemurtadannya secara terang-terangan atau kata-kata yang menjadikannya murtad atau perbuatan yang mengandung unsur-unsur kemurtadan.
Menurut Ensiklopedia Islam, berlakunya kemurtadan ditentukan oleh dua hal. Pertama, berakal. Tidak sah kemurtadan orang gila atau anak kecil yang belum berakal. Kedua, memiliki kekebasan dan kemerdekaan bertindak serta menentukan pilihan.
Seseorang yang dipaksa murtad, sedangkan hatinya masih tetap dalam keadaan beriman, tak bisa disebut murtad. Orang yang murtad, menurut fikih, kehilangan hak perlindungan atas jiwanya. Selain itu, orang yang murtad juga gugur dan hilang hak-hak perdatanya, kepemilikannya, dan batal perkawinannya.
Para ulama menetapkan, jika orang tersebut masuk Islam lagi, semua haknya yang hilang akan dikembalikan. Dalam hal waris, secara umum orang murtad tak dapat mewarisi dari pihak mana pun, baik dari pihak Muslim maupun kafir, karena tak mempunyai wali dan tak diakui oleh Islam.
Sebagian ulama berpendapat, kemurtadan merupakan penghalang khusus atas pewarisan, bukan perbedaan agama. Menurut jumhur (kesepakatan) ulama, harta benda orang murtad tak dapat diwarisi. Namun, sebagian pengikut Abu Hanifah berpendapat hartanya boleh diwarisi.
Harta, menurut Abu Hanifah, adalah yang didapatkan dalam keadaan Islam, sedangkan yang didapatkan dalam keadaan murtad menjadi rampasan (fai) bagi kas negara.
Sumber: Ensiklopedia Islam terbitan Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta