REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Melonjaknya jumlah infeksi virus corona di Iran memicu kekhawatiran gelombang kedua pandemi di negara itu. Hingga Rabu, otoritas kesehatan Iran mencatat 160.696 kasus dan 8.012 di antaranya meninggal dunia.
Dalam 24 jam terakhir, Iran melaporkan 3.134 kasus Covid-19 baru dan 70 korban jiwa. Pada Selasa, Iran melaporkan 3.117 kasus dan 64 korban. Artinya, untuk pertama kalinya dalam lebih dari dua bulan terakhir, Iran kembali melaporkan 3.000 kasus baru per hari.
"Jujur saja, itu menakutkan dan kami tampaknya tidak sepenuhnya menyadari betapa gawatnya situasi ini," ujar Mohammad Taala, pegawai sebuah universitas swasta di Teheran.
Iran diserang pandemi ini sejak Februari dan menjadi salah satu negara di Timur Tengah yang paling terdampak. Negara itu kemudian melonggarkan pembatasannya pada April setelah ada penurunan signifikan dalam kasus baru dan angka kematian.
Lonjakan kasus baru kembali dilaporkan pada Mei setelah transportasi publik dan pertokoan kembali beroperasi dan masjid kembali dibuka.
Gelombang wabah baru
Menurut para ahli kesehatan, grafik kasus selama beberapa minggu terakhir menunjukkan bahwa tanda-tanda gelombang kedua tengah melanda negara itu. Awal pekan ini, Menteri Kesehatan Saeed Namaki meminta warga mematuhi aturan pembatasan sosial.
"Pertarungan kita melawan pandemi masih jauh dari selesai. Jangan sampai upaya kita selama tiga bulan terakhir menjadi sia-sia karena kita lalai," kata dia.
Namaki menekankan bahwa pembatasan mobilitas harus diberlakukan kembali di Teheran karena "virus corona lebih berbahaya daripada polusi udara".
Sejumlah rumah sakit di Teheran melaporkan peningkatan jumlah pasien dalam beberapa pekan terakhir, sehingga menambah beban dokter dan perawat.
"Kami minta orang-orang selalu memakai masker dan mematuhi aturan kesehatan lainnya. Kami juga mendesak pihak berwenang untuk tidak terburu-buru mencabut karantina wilayah," kata Shapouri, seorang perawat di Rumah Sakit Masih Daneshvari.
Gelombang baru Covid-19 telah memengaruhi sebagian besar wilayah selatan Iran, khususnya Provinsi Khuzestan. Khuzestan, yang terletak di perbatasan barat daya Iran dengan Irak, dikategorikan sebagai "zona merah" karena risiko penyebaran virus yang tinggi.
Tercatat pula lonjakan kasus baru di Provinsi Sistan-Baluchistan yang berbatasan dengan Pakistan dan Afghanistan serta Provinsi Hormozgan yang berbatasan dengan Oman dan Uni Emirat Arab (UEA).
Picu kekhawatiran
Kementerian Kesehatan Iran menyoroti bahwa sebagian besar orang menggunakan layanan transportasi publik tanpa memakai masker. Namun, kementerian tampaknya tak mendapat dukungan yang cukup dari pemerintah, karena pemerintah terus mengambil langkah-langkah untuk melonggarkan pembatasan.
Pekan lalu, Kepala Pusat Penanganan Covid-19 di Teheran Alireza Zali menyatakan dia optimistis pandemi itu berhasil "diberantas" di Iran, karena lebih dari 88 persen pasien sudah sembuh.
Kemudian, Presiden Iran Hassan Rouhani pun mengumumkan rencana baru untuk membuka kembali kantor, tempat ibadah, dan restoran. Sekitar 40.000 masjid di seluruh negeri dibuka kembali, di samping situs-situs suci Qom, Mashhad, dan Teheran.
Pihak berwenang juga mengizinkan Salat Jumat pada lebih dari 100 kota dan larangan perjalanan antarkota dicabut. Pemerintah merasa tertekan karena merosotnya ekonomi negara itu, apalagi Iran tengah berjuang menghadapi sanksi Amerika Serikat.
Berdasarkan laporan yang dirilis oleh pusat penelitian parlemen Iran, pendapatan per kapita Iran turun 34 persen selama 2011-2019, dan karantina wilayah telah memperburuk kondisi ini. Aseer Ali dari Universitas Kedokteran Teheran memperingatkan bahwa lonjakan kasus harian dapat mengurangi semangat dan memicu kekhawatiran warga.
"Ini pasti menciptakan ketakutan dan kepanikan di masyarakat. Meskipun situasi Iran tidak seburuk AS atau Eropa, tetapi dengan adanya lonjakan kasus baru, masalah ini sungguh memprihatinkan," kata dia.
Berita ini diterbitkan di: https://www.aa.com.tr/id/berita-analisis/covid-19-kekhawatiran-gelombang-wabah-kedua-mencengkeram-iran/1865946