REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Cahaya fajar belum menghunjam bumi dengan tegas. Matahari belumlah merekah sempurna di Kota Surabaya, Hindia Belanda. Namun, kokok ayam telah menyambut tangis bayi yang keluar merobek perut perempuan asal Singaraja, Bali, 6 Juni 1901. Istri dari seorang guru pribumi bernama Raden Soekemi, Ida Ayu Nyoman Rai, melahirkan seorang putra persis saat fajar tiba. Anak itu terlahir dengan nama Kusno Sosrodihardjo.
Kusno lahir tak lama pascaletusan Gunung Kelud ketiga yang pernah tercatat dalam sejarah. Sebelum meletus pada 1901, Kelud pernah memuntahkan isinya pada abad ke-13 yang ditandai lahirnya seorang bakal raja Majapahit, Prabu Hayam Wuruk. Letusan kedua, terjadi pada 1586 saat Gunung di Kediri itu memberi kabar keruntuhan Kerajaan Pajang, pembuka awal cerita berdirinya Kerajaan Mataram.
Memang, bagi orang Jawa Kuno nan berselimut mistis, letusan gunung menyiratkan dan memberi kabar tentang sesuatu. Maka tak mengherankan kelahiran Kusno saat itu pun dianggap demikian. Kusno dipercaya merupakan berkah bagi nusantara. Terlebih, orang Jawa memiliki kepercayaan, seseorang yang dilahirkan saat matahari terbit maka nasibnya telah ditakdirkan terlebih dulu.
Singkat cerita, nama Kusno berganti menjadi Soekarno saat Kusno kecil sering mengalami sakit ketika memiliki nama Koesno Sosrodiharjo. Menurut orang dulu--sebagian kecil masih bertahan hingga kini--seorang anak sering sakit karena keberatan nama yang disandangnya. Alhasil, diberilah nama baru bagi sang anak menjadi Soekarno/Soekarno. Nama Karno diambil dari nama panglima perang dalam kisah Bharatayudha, Karna.
Mengenal Soekarno, sang proklamator lahir dari pertemuan singkat Raden Soekemi Sosrodihardjo, seorang guru yang melanglang buana di Pulau Jawa dengan gadis asal Bali, Ida Ayu Nyoman Rai. Keduanya bertemu ketika Raden Soekemi ditempatkan di sekolah dasar pribumi di Banjar Paketan-Liligundi-Buleleng, Singaraja, Bali.
Ida Ayu Nyoman Rai merupakan gadis cantik dari kasta brahmana, keturunan bangsawan, dalam garis keturunan raja terakhir Singaraja. Sedangkan, Raden Sukemi Sosrodihardjo, dia berasal dari keturunan Sultan Kediri.
Kusno, sang calon pemimpin bangsa diasuh dengan penuh kasih sayang meski masa kecil tak ia habiskan bersama tangan kasih kedua orang tuanya. Masa kecil Kusno banyak dihabiskan bersama sang kakek di Tulungagung.
Soekarno awalnya bersekolah di Tulungagung, Jawa Timur, hingga akhirnya ia pindah ke Mojokerto mengikuti orang tuanya yang ditugaskan di kota tersebut. Di Mojokerto, Soekarno dimasukkan ke Eerste Inlandse School, sekolah tempat sang ayah juga mengajar.
Kemudian, pada Juni 1911, Soekarno dipindahkan ke Europeesche Lagere School (ELS). Sekolah itu dienyam Soekarno sekaligus untuk memudahkannya diterima di Hoogere Burger School (HBS) Surabaya. Pada 1915, Soekarno telah menyelesaikan pendidikannya di ELS dan berhasil melanjutkan ke HBS.
Berguru kepada Tjokroaminoto
Saat mengenyam pendidikan di HBS, Soekarno diterima sebagai pelajar yang indekos di tempat kawan bapaknya yang bernama HOS Tjokroaminoto. Tjokroaminoto, yang dikenal sebagai organisatoris andal, memberi Soekarno remaja tempat tinggal di pondokan kediamannya.
Di Surabaya dan saat mengenyam pendidikan di HBS-lah Soekarno menggembleng sisi nasionalismenya. Di pondokan sang guru bangsa, HOS Tjokroaminoto, Soekarno juga banyak bertemu dengan para pemimpin Syarikat Islam, seperti Alimin, Musso, Dharsono, Haji Agus Salim, dan Abdul Muis.
Perkenalan dengan sejumlah tokoh membuat Soekarno aktif dalam kegiatan organisasi pemuda Tri Koro Darmo yang dibentuk sebagai organisasi dari Budi Utomo. Nama organisasi tersebut kemudian ia ganti menjadi Jong Java (Pemuda Jawa) pada 1918. Mengisi keluangan waktunya sebagai pelajar, Soekarno juga aktif menulis di harian Oetoesan Hindia yang dipimpin oleh Tjokroaminoto.
Tamat HBS tahun 1920, Soekarno melanjutkan ke Technische Hoge School (sekarang ITB) di Bandung dengan mengambil jurusan teknik sipil dan tamat pada 1925. Saat di Bandung, Soekarno tinggal di kediaman Haji Sanusi yang merupakan anggota Syarikat Islam dan sahabat karib Tjokroaminoto. Di sana ia berinteraksi dengan Ki Hajar Dewantara, Tjipto Mangunkusumo, dan Dr Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij.