Ahad 07 Jun 2020 08:00 WIB

Urutan Wajib Nafkah Dalam Islam, Justru Istri Nomor Kedua  

Islam mengatur wajib nikah dan pola prioritasnya.

Rep: Fuji Eka Permana/ Red: Nashih Nashrullah
Islam mengatur wajib nikah dan pola prioritasnya dalam keluarga.
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Islam mengatur wajib nikah dan pola prioritasnya dalam keluarga.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ada pemahaman yang terlalu disederhanakan ketika memahami konsep nafkah. Nafkah sebatas dipahami sebagai kegiatan memberikan harta dan kuota batin kepada istri dan anak. 

Padahal konsep nafkah begitu luas. Ustadzah Maharati Marfuah, Lc dalam buku 'Hukum Fiqih Seputar Nafkah', menjelaskan kata nafkah secara bahasa berasal dari bahasa Arab anfaqa, yunfiqu, infaqan, nafaqatan.

Baca Juga

Artinya mengeluarkan, infaq berarti al-mashruf wa al-infaq, biaya belanja, pengeluaran uang, dan biaya hidup. Nafkah kemudian digunakan untuk merujuk kepada sesuatu yang diberikan kepada orang yang menjadi tanggungannya.

Dalam buku yang diterbitkan Rumah Fiqih Publishing tersebut, Ustadzah Maharati menjelaskan macam-macam nafkah. Nafkah bisa dibagi dua, yakni nafkah kepada diri sendiri dan orang lain.

Sementara itu nafkah kepada orang lain bisa dikembangkan menjadi tiga, yakni kepada istri, kerabat, dan benda milik. Maka nafkah itu terbagi menjadi empat macam. Penjabarannya sebagai berikut:

 

1. Nafkah untuk diri sendiri

Memberi nafkah diri sendiri termasuk yang paling utama. Sebelum memberi nafkah kepada orang lain, hendaknya seorang memberikan nafkah dahulu kepada dirinya. Hal ini dijelaskan dalam hadits.

ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا، فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ ذِي قَرَابَتِكَ شَيْءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا

"Gunakanlah ini untuk memenuhi kebutuhanmu dahulu, maka bersedekahlah dengannya untuk mencukupi kebutuhan dirimu. Jika masih berlebih, berikanlah kepada keluargamu. Jika masih berlebih, berikanlah kepada kerabatmu. Jika masih berlebih, berikanlah kepada ini dan itu." (HR Muslim).

2. Nafkah untuk istri

Para ulama menyebutkan alasan mengapa memberi nafkah kepada orang lain menjadi wajib karena tiga hal. Yakni zaujiyyah (pernikahan), qarabah (kerabat), dan milkiyyah (kepemilikan).

Nafkah karena ikatan pernikahan ini adalah pemberian nafkah karena ikatan pernikahan yang sah. Bukan saja terjadi karena pernikahan yang masih utuh, tetapi juga pernikahan yang telah putus atau cerai dalam keadaan talak raj'i dan talak ba'in hamil.

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَآ أَنفَقُوا۟ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ

"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS An-Nisaa: 34).

Hukum memberi nafkah dari suami kepada istri adalah wajib. Nafkah istri di sini adalah kewajiban suami terhadap istrinya dalam bentuk materi, karena kata nafkah itu sendiri berkonotasi materi.  

Sedangkan kewajiban dalam bentuk non materi, seperti memuaskan hajat seksual istri tidak masuk dalam artian nafkah, meskipun dilakukan suami terhadap istrinya. Kata yang selama ini digunakan secara tidak tepat untuk maksud ini adalah nafkah batin sedangkan dalam bentuk materi disebut dengan nafkah lahir.

 

3. Nafkah untuk kerabat

Hubungan kekerabatan termasuk menjadi salah satu sebab wajibnya memberikan nafkah. Hanya saja berbeda pendapat terkait kerabat bagian mana yang wajib dinafkahi. Bahkan hampir tiap mazhab memiliki pandangan sendiri-sendiri dalam masalah ini.

Wahbah az-Zuhaili meringkas pendapat itu sebagai berikut. Kalangan Malikiyyah berpendapat bahwa kerabat yang berhak mendapatkan nafkah hanya orang tua dan anak. Syafi'iyyah berpendapat bahwa nafkah diberikan kepada hubungan orang tua dan anak serta cucu dan kakek (ushul dan furu').  

Adapun Hanafiyyah berpendapat yang mendapat nafkah karena kerabat bukan saja ushul dan furu' akan tetapi juga pada jalur ke samping dan dzawi al-arham. Sedangkan Hanabilah berpendapat lebih umum lagi asalkan pada jalur nasab. 

 

4. Nafkah Untuk benda milik 

Nafkah karena sebab kepemilikan seperti hamba sahaya dan binatang piaraan. Seseorang yang di zaman dahulu memiliki hamba sahaya atau hari ini memiliki hewan peliharaan, harus menafkahinya dengan memberi makanan dan minuman yang bisa menopang hidupnya.  

Hikmah pemberian nafkah kepada budak adalah masalah kasihan terhadap diri budak yang lemah dan tidak mampu apa-apa, yang tiada daya dan kekuatan dan tiada harta sama sekali. 

Telah diketahui dalam agama bahwa hamba sahaya adalah milik tuanya, kalau tuan tidak wajib memberinya nafkah, niscaya manusia lemah ini akan kelaparan dan telanjang sepanjang hari. Hal demikian tidak disetujui oleh akal dan tidak ditetapkan agama.

Bila seorang tidak mau memberikan nafkah. Maka hakim boleh memaksa orang tersebut untuk memberikan nafkah kepada binatang piaraan dan pelayannya. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement