REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pemerintah diminta mengeluarkan standar yang jelas tentang penerapan new normal di Pondok Pesantren. Hal itu agar memudahkan pesantren melakukan upaya pencegahan Covid-19 dengan merujuk pada standar yang ditetapkan pemerintah.
Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma'ahid Al Islamiyah (RMI) Nahdlatul Ulama (NU), KH Abdul Ghaffar Rozin mengatakan untuk menerapkan new normal di pesantren tidak semudah yang dibayangkan. Sebab pesantren merupakan lembaga pendidikan berbasis komunal di mana santri dan tinggal dan berkegiatan bersama selama 24 jam. Sebab itu menurutnya perlu adanya standar yang jelas untuk menerapkan new normal di pesantren.
"Dari pemerintah sendiri untuk standar new normal belum ada yang betul-betul dijadikan pegangan. Sejauh yang bisa kita pahami adalah aktif kembali dengan penjarakan. Tetapi tidak sesederhana itu bagi pesantren. Pemerintah baik melalui Kemenag harusnya memberikan sebuah standar, konsep yang konkrit soal new normal," kata Kiai Rozin kepada Republika.co.id pada Ahad (7/6).
Kiai Rozin berpendapat pada tingkat paling sederhana dalam penerapan new normal di pesantren yakni dengan membiasakan hidup sehat, menggunakan masker dan mencuci tangan. Bahkan menurutnya penerapan new normal juga dapat dilakukan dengan pembelajaran berjarak. Meski menurutnya hal tersebut akan sulit untuk diterapkan terlebih bagi pesantren yang memiliki ribuan santri. Menurutnya pesantren pun harus membanting fasilitas lainnya agar santri dapat belajar dengan tetap menerapkan protokol kesehatan.
"Siap atau tidak (pesantren) dilihat dari standarnya, standarnya kan belum ada bagaimana kita bisa mengatakan siap atau tidak (menerapkan new normal). Artinya kalau kita ngomong soal standar kita tidak ada standar, kita ngomong new normal di pesantren itu ya berdasarkan asumsi, asumsi yang berbeda-beda tentu juga dengan pelaksanaan yang berbeda-beda," tambahnya.
Kiai Rozin juga sepakat dengan adanya ruang isolasi di setiap pesantren. Ruang isolasi di tiap pesantren dapat difungsikan bagi santri yang baru tiba di pesantren. Santri terlebih dulu diisolasi selama 14 hari sebelum bercampur dan berkegiatan dengan santri lainnya. Selain itu, dalam keadaan darurat ruang isolasi dapat digunakan bila ditemukan kasus covid-19 di lingkungan pesantren. Sehingga penanganan lebih cepat sebelum kemudian dikirim ke fasilitas kesehatan terdekat.
Sementara terkait pembelajaran virtual, menurut kia Rozin kendati pesantren-pesantren telah melakukannya terutama saat Ramadhan, namun jelas dia banyak hal yang tidak bisa diajarkan kepada santri melalui pembelajaran virutal. Diantaranya seperti pembelajaran karakter, serta materi pembelajaran seperti musafahah Al Qur'an yang menuntut santri mengaji secara langsung berhadapan dengan gurunya.
"Pendidikan karakter ini kan tak mungkin bisa lewat virtual, ada role model. Lalu ada pelajaran-pelajaran yang memang harus berhadapan langsung, santri mengaji Qur'an bagaimana dia melafalkan itu tak hanya mendengar tapi harus melihat mulut gurunya. Itu tak bisa dilakukan jarak jauh," katanya.