REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Suatu waktu, kaum Yahudi Bani Nadhir diusir dari Madinah, sebagian pemimpinnya kala itu pindah ke Khaibar, salah satunya adalah Huyayyi bin Akhtab. Dimasuki Yahudi, Khaibar kala itu tidak bisa membendung benih permusuhan terhadap Muslim
Sadar posisi Bani Nadhir tak menguntungkan, mereka mulai menghasut kabilah-kabilah Arab di sekitar Khaibar. Di antara yang menghasut adalah Huyayyi bin Akhtab, Salam bin Abil dan Kinanah bin Abil.
Tak ayal, niat mereka akhirnya tersampaikan pada para pimpinan kaum Quraisy di sekitar Madinah dan Makkah yang menaruh dendam terhadap Nabi Muhammad SAW. Singkat cerita, para pemimpin Yahudi Bani Nadhir itu mengadakan berbagai pertemuan dengan para pemuka Quraisy, hingga diputuskan para pemimpin Yahudi dan koalisinya Kaum Quraisy bersatu untuk mengumumkan perang dan berniat menghancurkan Islam.
Mengutip buku Kelengkapan Tarikh Edisi Lux karangan Moenawar Chalil, Nabi Muhammad dan Muslimin yang mendengar kabar perang dari koalisi Yahudi-Quraisy itu sempat terkejut. Terlebih, ketika jumlah pasukan bersenjata lengkap mereka mencapai 11 ribu orang.
Namun demikian, bukan berarti Muslimin takut atau khawatir menghadapi serangan musuh. Sebaliknya, kaum Muslimin mempelajari pengalaman perangnya terhadap Quraisy di Bukit Uhud sebelumnya.
Bermusyawarah, merupakan tindakan yang diambil pertama kali oleh Rasulullah Bersama sahabat. Akhirnya diputuskan, bahwa musuh akan dihadapi di dalam kota Madinah. Tentara Muslim akan menerapkan sistem bertahan.
Lebih lanjut, Salman al-Farisi kemudian mengemukakan pendapat agar di sekeliling kota Madinah dibuatkan “khandaq” atau parit pertahanan agar musuh kesulitan masuk. Cara tersebut memang belum pernah dilakukan bangsa Arab sebelumnya, namun Nabi Muhammad menyetujuinya. Alhasil, berbagai alat milik Yahudi Bani Quraizhah yang saat itu masih terikat perjanjian dengan Muslim, dipinjam demi membuat khandaq.
Atas usaha membuat parit itu, meski tanpa niat bantuan Yahudi Bani Quraizhah, Muslim mampu membangun parit dengan bekerja siang malam. Menyinggung Salman al-Farisi yang kala itu berjasa besar, sahabat Muhajirin menyebutnya, “Salman dari golongan kami.”. Begitupun sahabat Anshar dan Nabi Muhammad sendiri yang bersabda: “Salman dari golongan kami ahli bait.”
Meski parit selesai dibuat, masih ada banyak rintangan bagi Muslim di perang saat itu. Terlebih, tentara Muslimin yang bertahan saat itu hanya berjumlah tiga ribu orang.
Namun demikian, strategi Khandaq mulai menampakkan hasilnya, Tentara Ahzab yang berkisar 11 ribu dan dipimpin Abu Sufyan itu telah berjalan dari sekutunya di Makkah, dan menuju Madinah.
Sikap congkak yang ditunjukan mereka nyatanya membawa serangan melewati parit sia-sia. Sebab, mereka salah memperhitungkan benteng pertahanan yang ganjil dan belum pernah dilihatnya.
Seiring waktu, perang yang terlaksana pada bulan Syawal tahun ke-5 H itu membuat pasukan dari Quraisy ditempatkan di berbagai posisi mengelilingi Madinah. Pada saat itu, cuaca sedang berada di musim hujan dan musim dingin, sehingga tenda-tenda perang mulai didirikan.
Bukannya takut melihat pengepungan dan pasukan lawan, tentara Muslimin semakin tegar. Sebaliknya, setelah berhari-hari di tepi Khandaq, kaum musryikin belum juga menemukan celah, padahal cuaca sedang dingin.
Rintangan Muslimin selanjutnya datang dari dalam Madinah sendiri, Kaum Yahudi Quraizhah yang saat itu masih terikat perjanjian dengan Nabi Muhammad, terhasut oleh Huyayyi bin Akhtab sehingga mengkhianati perjanjiannya dengan Muslim.
Nabi Muhammad mendengar pengkhianatan itu, hingga akhirnya Rasulullah mengutus Sa’ad bin Mu’az dan Sa’ad bin Ubadah dengan sahabat lainnya untuk menemui Yahudi Bani Quraizhah. Mendapat kebuntuan dan lawan yang semakin besar, bukannya susah, Muslimin menerimanya dengan tenang.
Bahkan, Rasulullah bersabda “Allah Maha Besar, bergembiralah kamu hai kaum Muslimin!”
Setelah kejadian tersebut, pengepungan tentara Ahzab terhadap kaum Muslimin terjadi. Mental tentara Ahzab yang sempat putus asa karena Khandaq, kembali tumbuh seiring memihaknya Bani Quraizhah.
Tentara Muslim yang jumlahnya berkurang karena pengkhianatan dan musuh yang bertambah tak membuat Rasulullah berputus asa. Meskipun di antara kaumnya ada yang menggerutu dan putus asa, dia adalah Mu’attib bin Qusyair yang berkata, “Muhammad pernah menjanjikan kita akan menang melawan kaisar Romawi, tetapi kenyataanya sekarang tidak ada keamanan atas kita sendiri.”
Mendengar banyak keluhan, Nabi berupaya berdamai dengan Bani Ghathafan dengan menawarkan hasil panen Madinah. Perundingan itu diterimanya. Berselang beberapa hari, pasukan lawan mulai menyerang fisik.
Setelah menderita cukup banyak, bantuan Allah datang kepada kaum Muslimin. Saat itu, terjadi perpecahan antara Bani Quraizhah dengan Quraisy dan Bani Ghathafan, juga antara Quraisy dengan Bani Ghathafan. Hingga suatu ketika, datang bencana topan pada mereka, disertai hujan dan dinginnya cuaca. Hingga keesokan harinya perkemahan itu habis tak tersisa.
Pada waktu perselisihan Muslimin memang mengintai perpecahannya. Hingga akhirnya, tentara Muslim yang berniat menyerang, penasaran bagaimana tantara sebesar itu hilang. Namun kenyataan itu sangat membuat Muslimin berbahagia dan bersyukur.
Sekembalinya bala tentara Muslim ke Madinah, Nabi SAW bersabda, “kaum Quraisy tidak akan berani memerangi kamu sesudah ini. Telah musnah kekuatan mereka dan tidak akan berani memerangi kita sesudah ini, dan kita akan memerangi mereka, insya Allah,”
Memang tak ada pertempuran besar fisik saat itu. Namun, bala tentara Muslim kecil melawan pasukan besar tak akan berpengaruh terhadap bantuan Allah Mahabesar.