REPUBLIKA.CO.ID, PYONGYANG -- Korea Utara (Korut) mengatakan akan memutuskan semua jalur komunikasi antar-Korea dengan Korea Selatan (Korsel), Selasa (9/6). Pemutusan itu termasuk hotline atau saluran telepon cepat antara para pemimpin kedua negara.
Korut mengatakan, langkah itu adalah yang pertama dari serangkaian aksi. Hal itu pun dinilai bahwa Korut menganggap Korsel sebagai "musuh" setelah sebelumnya melayangkan ancaman terkait munculnya selebaran anti-Korut yang dikirim melintasi perbatasan kedua negara tersebut.
Korut akan menghentikan panggilan harian yang dilakukan ke kantor penghubung yang terletak di kota perbatasan, Kaesong mulai Selasa. Kedua negara telah mendirikan kantor penghubung untuk mengurangi ketegangan pembicaraan pada 2008.
"Korut akan benar-benar memutuskan dan menutup jalur penghubung antara pihak berwenang Korut dan Korsel, yang telah dipertahankan melalui kantor penghubung bersama Utara-Selatan mulai pukul 12.00 pada 9 Juni 2020," kata laporan dari KCNA dikutip BBC, Selasa (9/6).
Kontak antara kedua negara sempat dilakukan melalui telepon langsung. Hal itu dikarenakan kantor penghubung ditutup sementara pada Januari karena pembatasan Covid-19.
Kedua Korea melakukan dua panggilan telepon sehari melalui kantor penghubung, pada pukul 09.00 dan 17.00. Pada Senin, Korsel mengatakan bahwa untuk pertama kalinya dalam 21 bulan, panggilan pagi belum dijawab, meskipun kontak dilakukan pada sore hari.
Pekan lalu, saudara perempuan pemimpin Korut Kim Jong-un, Kim Yo-jong mengancam menutup kantor kecuali Korsel menghentikan kelompok-kelompok pembelot mengirimkan selebaran ke Korut. Dia mengatakan kampanye selebaran itu merupakan tindakan bermusuhan yang melanggar perjanjian damai yang dibuat selama KTT Panmunjom 2018 antara Moon Jae-in dan Kim Jong-un.
Para pembelot Korut kerap mengirim balon-balon yang membawa selebaran-selebaran kritis dari wilayah komunis ke Korut. Selebaran itu juga kerap berisi pasokan untuk membujuk orang Korut untuk mengambilnya. Warga Korut hanya dapat memperoleh berita dari media yang dikendalikan negara, dan sebagian besar tidak memiliki akses ke internet.