REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyuarakan alarm kekurangan pangan yang meluas dan kekurangan gizi di Korea Utara (Korut), Selasa (9/6). Kekhawatiran itu diperburuk oleh penutupan perbatasan hampir lima bulan dengan China dan langkah-langkah karantina ketat terhadap Covid-19 .
Pelapor khusus tentang hak asasi manusia PBB di Korea Utara, Tomas Ojea Quintana, mendesak Dewan Keamanan PBB untuk mempertimbangkan kembali sanksi yang telah dikenakan pada negara tersebut. Keputusan ini untuk memastikan pasokan makanan.
Ojea Quintana menyatakan pandemi telah membawa kesulitan ekonomi yang drastis ke Korut. Meski, negara ini adalah satu-satunya negara di dunia yang tidak melaporkan kasus penyakit Covid-19 kepada Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Dalam catatan PBB, penurunan 90 persen dalam perdagangan dengan China pada Maret dan April menyebabkan hilangnya pendapatan. Ojea Quintana menekankan, prospek pendalaman lebih lanjut dari kekurangan makanan dan kerawanan pangan yang meluas menjadi mengkhawatirkan.
"Ada laporan peningkatan jumlah tunawisma di kota-kota besar, termasuk kotjebi (anak jalanan), dan harga obat-obatan dilaporkan melejit. Semakin banyak keluarga makan hanya dua kali sehari atau hanya makan jagung, dan beberapa kelaparan," kata Ojea Quintana.
Secara terpisah, juru bicara Program Pangan Dunia PBB Elisabeth Byrs mengatakan situasi kemanusiaan di Korut tetap suram. Lebih dari 10 juta orang atau 40 persen dari populasi membutuhkan bantuan kemanusiaan.
"Malnutrisi telah berlangsung lama dan menyebar menyebabkan kerusakan jangka panjang pada kesehatan dan perkembangan anak-anak, serta ibu hamil dan menyusui," kata Byrs.