Selasa 09 Jun 2020 20:46 WIB

Wali Kota London Tinjau Patung yang Cerminkan Perbudakan

Patung Edward Colston dilemparkan ke sungai Bristol Harbour oleh demonstran

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Christiyaningsih
Wali Kota London Sadiq Khan telah memerintahkan peninjauan perusakan patung pedagang budak Inggris oleh pengunjuk rasa anti-rasisme. Ilustrasi.
Foto: Economist
Wali Kota London Sadiq Khan telah memerintahkan peninjauan perusakan patung pedagang budak Inggris oleh pengunjuk rasa anti-rasisme. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Wali Kota London Sadiq Khan telah memerintahkan peninjauan perusakan patung pedagang budak Inggris oleh pengunjuk rasa anti-rasisme. Khan telah menugaskan sebuah komisi untuk meninjau patung, plakat, dan nama jalan yang mencerminkan puncak kejayaan Inggris pada masa pemerintahan Ratu Victoria.

"Keragaman ibu kota kami adalah kekuatan terbesar kami. Namun patung, nama jalan, dan ruang publik kami mencerminkan era yang sudah berlalu," ujar Khan.

Baca Juga

Khan mengatakan beberapa patung akan dipindahkan. Patung Edward Colston dirobohan dan dilemparkan ke sungai Bristol Harbour pada Ahad lalu oleh sekelompok demonstran anti-rasisme. Aksi tersebut merupakan bagian dari gelombang protes besar-besaran setelah kematian seorang pria Afrika-Amerika, George Floyd, oleh polisi kulit putih di Minnesota, Amerika Serikat (AS).

"Adalah kebenaran yang tidak nyaman bahwa kekayaan negara dan kota kita berasal dari perdagangan budak, sementara kontribusi komunitas kita terhadap kehidupan ibu kota telah diabaikan," kata Khan.

Edward Colston merupakan pedagang Inggris, anggota parlemen, filantropis, dan pedagang budak. Semasa hidupnya, Colston banyak mengeluarkan karya-karya filantropis seperti ruas jalan, sekolah, rumah tahanan, rumah sakit, dan gereja di Bristol.

Namun dalam prosesnya dalam membangun karya-karya tersebut, Colston menjual puluhan ribu budak kulit hitam. Maka tak heran jika kekayaannya sebagian besar diperoleh melalui perdagangan dan eksploitasi budak.

Dalam sejarah perdagangan, senjata dan bubuk mesiu dari Eropa ditukar dengan budak Afrika yang dikirim melintasi Atlantik ke Amerika. Kapal-kapal tersebut kembali ke Eropa dengan membawa komoditas gula, kapas, dan tembakau.

Sebanyak 17 juta pria, wanita, dan anak-anak Afrika telah menjadi korban perbudakan dalam perdagangan global antara abad ke 15 dan 19. Sebagian besar dari para budak tersebut meninggal dunia dalam kondisi mengenaskan. Sementara, para budak yang masih hidup harus bekerja di perkebunan gula, tembakau, dan kapas.

Inggris menghapuskan perdagangan budak trans-Atlantik pada 1807 dengan mengeluarkan Undang-Undang Penghapusan Perdagangan Budak. Perbudakan di Inggris tidak didukung oleh hukum Inggris dan hal ini dipastikan oleh Kasus Somersett pada tahun 1772. Perbudakan masih legal di hampir seluruh wilayah Imperium Britania hingga diberlakukannya Undang-Undang Penghapusan Perbudakan 1833.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement