REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Pemerintah China pada Selasa (9/6) memperingatkan pelajar dan mahasiswa untuk memikirkan kembali keputusan melanjutkan studi di Australia. Hal ini mengingat banyaknya kasus kekerasan rasial yang menargetkan warga Asia selama pandemi COVID-19.
Peringatan itu dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan China beberapa hari setelah Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menyarankan warganya agar tidak berpergian ke Australia. Hal ini demi menghindari kekerasan dan diskriminasi rasial yang terkait dengan wabah COVID-19.
Lewat pernyataan tertulisnya, Kementerian Pendidikan mengingatkan pelajar yang menempuh studi di luar negeri agar melakukan kalkulasi risiko yang cermat dan waspada saat memilih ke Australia atau kembali ke Australia untuk melanjutkan pendidikannya.
Koran Sydney Morning Herald pada Ahad (7/6) menerbitkan hasil survei dari lembaga think tank Per Capita bahwa 386 insiden rasial terjadi sejak 2 April 2020. Kejadian itu di antaranya kekerasan fisik, intimidasi, sampai meludah.
Hubungan Australia dan China menegang. Hal ini terjadi sejak Canberra mengusulkan untuk komunitas internasional mengadakan penyelidikan berskala global mengenai asal-usul dan penyebab COVID-19 mewabah sampai akhirnya menjadi pandemi.
China pun membalas usulan itu dengan mengenakan bea masuk terhadap produk gandum impor serta menghentikan impor daging sapi dari beberapa perusahaan Australia. Walaupun demikian, Beijing menyangkal perbuatannya itu terkait dengan ketegangan soal COVID-19.
Australia juga cukup vokal mengkritik Undang-Undang Keamanan Nasional untuk Hong Kong yang diusulkan China, yang dinilai para kritikus dapat mengganggu kebebasan di Hong Kong, kota bekas koloni Inggris. Saat peringatan dari Kementerian Pendidikan China terbut muncul, dolar Australia pada Selasa melemah satu persen atau sekitar 0,6951 dolar AS (sekitar Rp 9.792).