Selasa 09 Jun 2020 22:31 WIB

Pembiayaan Belum Selesai, Perludem: Jangan Paksakan Pilkada

Perludem mengatakan jangan paksakan pilkada jika masalah pembiayaan belum selesai.

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil (kanan)
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil (kanan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengusulkan sebaiknya pemilihan kepala daerah serentak tidak dipaksakan berlangsung pada 9 Desember 2020. Perludem menilai, selain masih dalam kondisi pandemi Covid-19, kondisi keuangan daerah juga dinilai tak siap untuk membantu penyelenggaraan Pilkada.

Manajer Program Perludem Fadli Ramadhanil mengatakan, angka positif Covid-19 terus meningkat. Sementara tahapan pilkada yang akan kembali digelar pada tanggal 15 Juni 2020, ini langsung menyedot banyak interaksi tatap muka.

Baca Juga

"Permasalahan biaya pilkada belum selesai, juga aturan-aturan terkait, padahal beberapa hari lagi tahapan akan dimulai, sedangkan sejak awal itu sudah ada interaksi banyak orang, bagaimana dengan protokol kesehatannya," kata Fadli Ramadhanil, Selasa (9/6).

Menurutnya, dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, seharusnya bisa menjadi dasar bagi penyelenggara pemilu untuk menunda pilkada pada tahun 2021. Fadli mengatakan bahwa tidak seluruh daerah memiliki ruang fiskal yang cukup untuk menggelar pilkada menyesuaikan dengan kondisi pandemi. Jika mengubah postur APBD, menurutnya, tentunya harus melalui mekanisme pembahasan pada APBD perubahan.

"Begitu juga kalau ada bantuan dari APBN, tentunya juga melalui mekanisme yang sama, dan biasanya pembahasan APBD perubahan itu pada pertengahan atau akhir tahun, sedangkan tahapan dimulai Juni," ujarnya.

Saat ini, kata Fadli, sebaiknya pemerintah dan penyelenggara pemilu fokus menyiapkan pada dasar hukum, mekanisme, dan anggaran pilkada sesuai dengan kondisi pandemi. Setelah semuanya benar-benar rampung, barulah tahapan dimulai.

Berkaca atau meniru penyelenggaraan pemilu yang sukses di tengah pandemi, seperti Korea Selatan, untuk diterapkan pada pilkada, menurutnya juga kurang tepat sebab negara tersebut dari sejak lama sudah memiliki sistem pemilu yang siap dengan kondisi tak terduga seperti pandemi ini.

"Mereka sudah siap, pemilihannya sudah mengakomodasi pemilih bisa memberikan hak suaranya sebelum hari pemungutan dan lainnya. Kita di sini kerangka hukum untuk itu belum ada, dan anggaran di sana empat kali jauh lebih besar, jadi tidak bisa dibandingkan," ucapnya.

Jika tetap dipaksakan pemilu diselenggarakan dengan konsisi saat ini, Fadli khawatir kemungkinan kacaunya pilkada bisa terjadi. Begitu juga dengan potensi penyelenggara pemilu yang terinfeksi Covid-19 akibat dari aktivitas pilkada.

"Tentu pada tahapan pilkada bisa banyak sekali menemui persoalan kalau disiapkan dengan kerangka hukum yang kurang cermat dan pilkadanya disiapkan (secara mendesak) karena mulai pada tanggal 15 Juni," ujarnya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement