REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengatakan, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya sudah bertindak cepat dalam menangani pasien Covid-19. Kalau pun jumlah penderita virus corona di Surabaya meningkat, hal itu lantaran tes swab masif baru dilakukan belakangan ini. Menurut Risma, Pemkot Surabaya ketika belum memiliki alat tes polymerase chain reaction (PCR) adalah dengan melakukan pencegahan, yaitu memperkuat daya tahan tubuh pasien, baik orang dalam risiko (ODR), orang tanpa gejala (OTG), orang dalam pengawasan, maupun pasien dalam pengawasan (PDP).
"Sekampung kami lakukan tes setelah kami punya alat, kami punya alat (PCR) kurang lebih akhir Mei, untuk melakukan tes itu, yang saya lakukan sebelum saya punya alat adalah bagaimana memperkuat daya tahan fisik pasien tadi yang masuk ODR, OTG, masuk ODP, kemudian masuk PDP itu hanya memberikan vitamin dan telor serta saya membuat minuman tradisional pokak yang dari jahe yang bisa melancarkan dahak seperti itu," kata Risma saat menjadi narasumber acara ILC TvOne yang dibawakan Karni Ilyas pada Selasa (9/6) malam WIB.
Karni pun menanyakan mengapa kasus positif Covid-19 tinggi dan terus meningkat? Risma menjelaskan, jika sebenarnya kasus positif Covid-19 di Surabaya malah tingkat kesembuhannya yang cepat. Jika pun akhirnya ditemukan pasien positif virus corona, hal itu lantaran tes swab yang meningkat. Dan, peningkatan itu lebih disebabkan hasil tes di laboratorium yang telat keluar.
"Kemarin tiga hari, 350, 137, kemudian 50 (positif) ada agak delay hasil swab kami mulai tanggal 4-7 (Juni), kenapa kemarin tinggi itu? (Tanggal) 4, 5, 6, itu belum ada hasilnya, jadi itu kumulatif tiga hari, yang hasilnya belum dapat," kata Risma.
Dia mengaku, bersyukur lantaran sekarang hasil tes swab bisa keluar lebih cepat. Risma membandingkan, pada awal-awal pandemi Covid-19, hasil tes pasien bisa keluar satu bulan atau tiga pekan. "Ada dua minggu, tapi serang relatif tiga hari, itu pun saya sampaikan kalau kita terlambat dia (pasien positif) bisa memungkinkan menularkan jika kita melakukan pendeteksian itu, kami harus cepat dan segera supaya penularan itu bisa terputus," kata Risma yang juga ketua DPP PDIP itu.
Sebelumnya, Risma secara berterus terang menegaskann, tidak memperhatikan apakah Surabaya itu masuk zona merah, biru, kuning, atau putih. Dia menyebut, yang diperhatikan pemkot adalah warga yang sakit atau warga yang sebetulnya carrier. Menurut dia, orang seperti itu yang beraktivitas di luar dengan status OTD, sangat memungkinkan menjadi penular, namun orang itu tidak tahu kalau ia positif Covid-19.
"Jadi karena itu, hari demi hari, saya melototi data pasien dan posisinya pasien itu ada di mana. Kemudian saya membuat pemetaan karena saya lihat saya harus tahu kondisi kampung gitu seperti apa, semisal dia tinggal di kampung, kemudian misalkan dia tinggal di apartemen itu posisinya seperti apa, kalau dia tinggal di rumah susun saya harus melakukan apa, kalau dia bekerja misalkan dia ada di toko dengan pegawai-pegawai, saya harus apa, kalau dia ada di pasar harus apa," kata Risma.