REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Imani Zulaika (bukan nama sebenarnya) tak pernah menyangka, kematian ayahnya lima tahun lalu bakal berujung pada pertikaian antara keluarganya dengan kerabat ayahnya. Ia kini perlahan harus mengurai pertikaian soal harta warisan sang ayah itu.
Pria berusia 34 tahun itu, pada perayaan Idul Fitri tahun lalu mengumpulkan tiga saudara laki-lakinya dan kerabatnya dari pihak ayah. Mereka mendiskusikan soal pembagian aset almarhum.
Pertemuan itu berhasil menyelesaikan sejumlah masalah. Kendati belum semua soal harta waris tuntas, Imani meyakini pertemuan itu adalah langkah awal yang baik memperbaiki hubungan mereka.
Melansir laporan Bernama, Rabu (10/6), umat Islam disebut memang kerap menyerahkan persoalan harta waris ke sistem faraid (hukum waris dan distribusi Islam) ketika almarhum pemilik aset tak membuat surat wasiat sebelum meninggal. Padahal, tak jarang sistem itu malah melahirkan perselisihan antarkeluarga.
Sosiolog Prof Datuk Mohammad Shatar Sabran, mengatakan, memang banyak orang Melayu di Malaysia yang belum memahami pentingnya mencantumkan nama pewaris dalam surat wasiat. Ia juga menilai, untuk menjawab pendistribusian harta warisan, cara yang paling efektif digunakan adalah konsep hibah. Tapi, cara ini belum populer dipakai masyarakat Melayu.
Konsep hibah mengacu pada pengalihan kepemilikan aset donor ke penerima secara sukarela. Proporsi distribusi bisa ditentukan sebera banyak kepada ahli waris dan non-ahli waris.
"Tanah leluhur senilai miliaran ringgit tidak digunakan dan tidak ada yang bisa dilakukan hanya karena kegagalan mengubah nama pemilik," kata Sabran kepada Bernama.
Pengacara Datuk Ikbal Salam, yang telah menangani kasus-kasus warisan selama 24 tahun terakhir, mengatakan komunitas Melayu di Malaysia masih berpegang teguh pada konsep faraid. Seolah-olah Islam hanya menyediakan itu sebagai satu-satunya cara membagi aset.
"Islam, bagaimanapun, menyediakan berbagai metode membagi harta seseorang secara adil,” katanya.
Ironisnya, kata Ikbal, mereka yang bergantung pada konsep faraid biasanya adalah orang-orang yang pada akhirnya menyengketakan porsi harta warisan. Mereka mempermasalahkannya ketika menyadari harta yang didapat ternyata tak sesuai perkiraan.
Menurut Ikbal, umat Islam harus didorong menggunakan konsep hibah. Khususnya dengan pelibatan lembaga perbankan atau koperasi Islam.
Lembaga-lembaga keuangan itu, kata dia, harus menyediakan fitur yang memungkinkan pemilik rekening menentukan penerima hartanya setelah ia meninggal sesuai dengan konsep hibah. Dengan demikian, setiap orang yang sudah ditunjuk, sesuai porsinya, bisa menarik uang atau aset almarhum.
Sedangkan harta di rekening yang tak dimasukkan ke kategori hibah oleh almarhum, akan menjadi harta milik almarhum. Harta itu baru akan bisa diakses oleh keluarganya setelah proses administrasi yang ketat dan panjang. Ini adalah cara yang akan menyulitkan keluarga.
“Ahli waris seperti janda dapat dengan mudah menarik uang milik almarhum suaminya jika rekening dibuka menggunakan instrumen hibah,” kata Ikbal.
Wakil Rektor Universiti Pendidikan Sultan Idris, Mohammad Shatar, mengatakan, untuk menghindari masalah harta waris di kemudian hari, umat Islam sebaiknya mulai membahasnya dalam pertemuan-pertemuan keluarga saat mereka masih sehat. Tak perlu menunggu sampai ayah atau ibu meninggal.
“Pertemuan keluarga selama Hari Raya adalah waktu terbaik membahas masalah seperti itu," katanya.