REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Memberi nafkah menjadi kewajiban setiap individu Muslim yang sudah memiliki keluarga. Nafkah tak dibatasi dengan nominal. Hal itu berdasarkan keadaan keduanya, baik suami maupun istri.
Ustazah Maharati Marfuah, Lc dalam bukunya "Hukum Fiqih Seputar Nafkah" mengatakan, nafkah istri bisa berbeda antara satu keluarga dengan keluarga lain, sebagaimana Surat at-Thalaq ayat 7.
"Liyunfiq zu sa'atim min sa'atih, wa mang qudira alaihi rizquhụ falyunfiq mimma atahullah, la yukallifullahu nafsan illa ma ataha, sayaj'alullahu ba'da 'usriy yusra."
Yang artinya "Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan."
Ustazah Maharati Marfuah mengatakan, ukuran nafkah bisa ditentukan menurut
keadaan orang yang memberi nafkah. Hendaklah suami memberi nafkah kepada istrinya, atau anaknya yang masih kecil menurut ukuran kemampuan baik yang mempunyai kelapangan atau menurut ukuran miskin andaikata dia adalah orang yang tidak berkecukupan.
"Sedangkan kebutuhan orang yang diberi nafkah ditentukan menurut kebiasaan setempat," katanya.
Keseluruhan ayat dan hadits di atas merupakan dalil wajib nafkah, dan hanya berbicara tentang nafkah secara mutlak tanpa memberi batasan dan ukuran. Jika dalam Alquran dan Hadits ada pensyariatan suatu hukum tapi tidak dijelaskan rinciannya, maka dikembalikan kepada "urf"setempat dan ijtihad.
Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas sebagian ulama Syafi'iyyah dan Ahmad bin Hanbal berpendapat: “Nafkah istri itu diukur dan dikadarkan dengan keadaan."
Meski beberapa ulama dari mazhab Maliki memberikan batasan sesuai dengan kebiasaan masyarakat dan kemampuan suami. Dalam Undang-undang yang berlaku di Indonesia, diatur juga tentang standar dari nafkah suami kepada istri, baik dalam Undang-undang
Pernikahan, KUHPerdata maupun Kompilasi Hukum Islam.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tenatang Perkawinan 34 ayat 1 disebutkan: (1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Dalam hukum negara di Indonesia, juga diatur tentang standar nafkah suami terhadap istri, baik Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) juga menyebutkan perihal pengaturan nafkah secara eksplisit.
Hal tersebut bisa kita lihat dalam pasal 107 ayat (2) KUHPer, suami berkewajiban melindungi istrinya dan memberikan istrinya sesuatu yang patut sesuai dengan pendapatannya.
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 80 ayat (1) disebutkan tentang kewajiban suami memberi nafkah kepada istri. Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah-tangga yang penting diputuskan oleh suami istri bersama.
"Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan sesuatu keperluan hidup
berumah tangga sesuai dengan kemampuanya," katanya.
Dalil yang menjadi hujjah para ulama yang tak membatasi standar nafkah kecuali atas kecukupan istri dan kemampuan suami adalah hadits Hindun bin Utbah; istri Abu Sufyan mengadu kepada Rasulullah SAW.
"Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna Telah menceritakan kepada kami Yahya dari Hisyam ia berkata; Telah mengabarkan kepadaku bapakku dari Aisyah bahwa Hindu binti Utbah berkata, “Wahai Rasulullah, Abu Sufyan adalah seorang laki-laki yang pelit. Ia tidak memberikan kecukupan nafkah padaku dan anakku, kecuali jika aku mengambil dari hartanya dengan tanpa sepengetahuannya.” Maka beliau bersabda: “Ambillah dari hartanya sekadar untuk memenuhi kebutuhanmu dan juga anakmu.“(HR. Bukhari).
Redaksi hadits, "ambillah dari hartanya sekedar untuk memenuhi kebutuhanmu dan anakmu" ini menjadi alasan bahwa nilai nafkah tak ada batasan tertentu.
Meski Imam Asy-Syafi’i berpendapat: “Nafkah istri diukur dengan ukuran syara’ dan yang di’itibarkan dengan keadaan suami, orang kaya memberikan dua mud sehari, orang yang sedang memberikan satu setengah mud sehari, dan orang miskin memberi satu mud sehari”. Jika terjadi perselisihan tentang kadar dan standar nilai nafkah antara suami dan istri, maka qadhi atau hakimlah yang akan memutuskannya.