REPUBLIKA.CO.ID, Perang saudara di Libya setelah jatuhnya Muamar Qadafi pada 2011 silam tak kunjung berhenti. Seperti halnya Suriah maupun Yaman, pertempuran di Libya melibatkan negara-negara luar. Kepentingannya tak sekadar ideologis, tetapi juga urusan ekonomi.
Turki berada di posisi berseberangan dengan Mesir maupun Uni Emirat Arab dan Rusia. Turki memilih mendukung pemerintahan Libya (GNA) di Tripoli yang berada di sebelah barat. Sebaliknya Mesir, UEA, dan Rusia menyokong Jenderal Khalifa Haftar beserta pengikutnya.
Bagi Mesir, perseteruan dengan Turki juga terkait dengan kekhawatiran bangkitnya kelompok Ikhwanul Muslimin di Libya. Seperti diketahui, Mesir sempat dipimpin oleh gerakan Ikhwan pasca-Arab Spring yang menaikkan Muhammad Mursi sebagai presiden sebelum akhirnya dikudeta oleh Jenderal Abdul Fatah al-Sisi pada 2013.
Dalam satu kesempatan Presiden Abdul Fatah al-Sisi mengatakan, pemerintahan di Tripoli disandera oleh kelompok bersenjata dan milisi. Pemerintahan di Tripoli, menurut dia, disokong oleh kelompok Libya berafiliasi oleh Ikhwanul Muslimin yang telah dinyatakan Kairo sebagai organisasi teroris. Adapun Turki dan Qatar merupakan negara yang secara nyata mendukung gerakan Ikhwan.
Ketua Parlemen Mesir Ali Abdel-Aal mengatakan, Libya memiliki posisi strategis dalam keamanan nasional Mesir. Karena itu, Mesir mengikuti perkembangan di Libya. Ia meminta orang-orang Libya mendukung tentara nasional dalam perang melawan kelompok-kelompok teroris dan tentara bayaran yang didukung oleh Turki.
"Mereka yang ingin membangkitkan mimpi lama ekspansi di bagian ini dunia lupa bahwa Mesir tidak akan membiarkan Libya jatuh ke tangan kelompok-kelompok teroris. Belum lagi bahwa mereka yang menyuntikkan uang untuk mendukung para teroris ini akan menghadapi tanggapan yang sengit," kata dia seperti dilansir Ahram, Rabu (10/6).
Mesir secara nyata mendukung Jenderal Khalifa Haftar, apalagi setelah Turki mengirimkan pesawat tanpa awak untuk membantu pemerintahan sementara Libya (GNA). Sudah ratusan orang tewas sejak Jenderal Khalifa Haftar dan pasukan yang ia pimpin (LNA) berusaha merebut Tripoli 14 bulan yang lalu.
Namun, LNA yang didukung Uni Emirat Arab, Mesir, dan Rusia belum juga berhasil. Alih-alih berhasil, Haftar kini justru kian terdesak oleh tentara Tripoli dukungan Turki dan memilih menyetujui Deklarasi Kairo yang baru-baru ini disepakati di Mesir untuk mengakhiri perang di negara tersebut.
Khawatir demokrasi
Media Turki, TRT World, menulis, seperti negara-negara Arab Teluk, Mesir yang kini dikuasai militer khawatir dengan menguatnya demokrasi di Timur Tengah. Karena itu, mereka berinvestasi besar pada orang-orang berpengaruh seperti Haftar dan Presiden Suriah Bashar al-Assad.
"Pemerintahan Libya yang sah berhasil menghentikan agresi (Haftar), kini mulai membebaskan sisa negeri itu dari orang-orang militer berpengaruh seperti Haftar dan sekutu-sekutunya, yakni Mesir, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab," kata pengamat politik dan jurnalis Mesir, Hamza Zawba, kepada TRT World.
Zawba yang juga mantan juru bicara Partai Kebebasan dan Keadilan, organisasi politik sayap Ikhwanul Muslimin, menekankan kuatnya ikatan antara Mesir dan Libya sebagai dua negara Afrika Utara. Zawba menilai pemerintahan Presiden Mesir Abdul Fattah al-Sisi tidak bisa berbuat banyak dalam membantu Haftar.
"Jika militer kami terlibat dengan (pemerintahan Tripoli), saya pikir akan menjadi bencana. Militer Mesir tahu hal itu kesalahan besar," kata Zawba.
Sementara itu, media Pan-Arab yang berbasis di London, the Arab Weekly, melaporkan bahwa cabang Ikhwanul Muslimin di Libya dan sekutu-sekutu mereka mencoba mengadu domba pendukung LNA dan Haftar. The Arab Weekly menulis, Ikhwanul Muslimin di Libya memainkan emosi pendukung LNA yang tidak puas dengan kemunduran pasukan itu akhir-akhir ini.
Ikhwanul Muslimin mengincar suku-suku yang mendukung Ketua Parlemen Aguila Saleh dan pendukung Muamar Khadafi. The Arab Weekly melaporkan, stasiun televisi Libya al-Jamahiriya TV yang mereka sebut corong Khadafi dan menerima dana dari Ikhwanul Muslimin mengumumkan LNA telah kehilangan dukungan. The Arab Weekly menulis, pendukung Ikhwanul Muslimin juga mempertanyakan mundurnya LNA dari pangkalan udara al-Watiya.
Sejak pekan lalu Mesir pun mulai bergerak untuk menahan makin kuatnya GNA yang didukung Ikhwanul Muslimin. Pasalnya, di satu sisi, Ketua NATO Jens Stoltenberg pun sudah mengatakan blok itu mendukung GNA.
"Di Libya ada embargo senjata yang harus dihormati semua pihak. Namun, tidak berarti level kepatuhan antara pasukan Haftar dan pemerintah Fayez al-Sarraj yang diakui PBB harus sama. Dengan alasan ini NATO sudah memberi dukungan pada pemerintah Tripoli," kata Stoltenberg pada surat kabar Italia, La Repubblica, seperti dilansir dari Greek City Times.
Presiden Mesir Abdul Fattah al-Sisi mengumumkan Inisiatif Kairo yang disebut akan mengakhiri krisis Libya pada Sabtu (6/6) lalu. Hingga kini Turki belum menanggapi inisiatif tersebut.
Selain mendorong upaya diplomatik semacam itu, Mesir juga mempertahankan pangkalan militer Mohamed Naguib yang berada di dekat perbatasan Libya. Pangkalan militer itu baru dibangun tiga tahun yang lalu. Pangkalan memiliki jaringan logistik modern yang terhubung dengan sistem pertahanan Mesir. Pangkalan itu sengaja dibangun di sana sebagai antisipasi bila ada serangan militer darurat dari Libya.
The Arab Weekly melaporkan Kairo tidak berharap inisiatif mereka diterima semua pihak. Mereka bahkan sudah mempersiapkan skenario bila inisiatif itu ditolak Perdana Menteri al-Sarraj dan sekutu serta milisi GNA.
Namun, proposal Mesir ini tampaknya telah mendapat dukungan internasional selain sejumlah negara Arab dan Barat seperti Amerika Serikat, Uni Emirat Arab, dan Arab Saudi. Inisiatif Kairo juga disambut baik Presiden Rusia Vladimir Putin.
Media Qatar, Aljazirah, menulis, Libya yang memiliki 46,6 miliar barel cadangan minyak menjadi salah satu negara penghasil minyak terbesar di Afrika. Sementara itu, Turki menegaskan bantuannya setelah menandatangani kesepakatan demarkasi maritim dengan GNA tahun lalu. Kesepakatan itu untuk eksplorasi gas dan minyak di timur Mediterania.
Sementara itu, Rusia juga melihat Libya sebagai kesempatan untuk kembali menjadi salah satu kekuatan adidaya setelah jatuh di bawah bayang-bayang Barat 30 tahun yang lalu. Di sinilah Putin melihat Libya strategis baik dari sisi lokasi maupun sumber daya alam. Seperti diketahui, Libya kerap dipakai oleh imigran gelap yang ingin masuk ke Barat lewat jalur Mediterania timur.
Soal hubungan dengan Turki, Rusia sudah terbiasa untuk tarik ulur. Keduanya bisa bermusuhan seperti halnya di Suriah. Namun, mereka bisa berkoalisi bersama ketika menghadapi tekanan dari AS.