REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid menegaskan tidak relevan bila menggiring kasus kematian pria kulit hitam asal Minneapolis, Amerika Serikat, George Floyd ke wilayah Papua terkait rasisme. Meutya mengakui dalam konteks Papua, masyarakat masih merasa mendapatkan perlakuan diskriminatif khususnya terkait proses hukum kasus rasisme di Surabaya.
"Ini kita benahi, dan jika ada pelanggaran saya rasa dapat dibawa ke ranah hukum," katanya dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Rabu (10/6).
Menurut dia, isu Papua sering diidentikkan dengan persoalan disintegrasi karena tuntutan merdeka. "Tapi tidak bisa menggandeng dua isu (rasisme dan separatisme), karena terdapat perbedaan konteks sejarah dan kepentingan. Dalam konstitusi negara tegas disampaikan persamaan hak setiap warga negara," ujar Meutya.
Tokoh muda Papua Steve Mara mengingatkan masyarakat Indonesia jangan termakan oleh propaganda yang dimainkan melalui media untuk menciptakan konflik di Papua. "Kasus rasisme atau perbedaan warna kulit perlu untuk kita refleksikan kembali, sehingga perlu saya ingatkan kembali bahwa dalam membaca dan melihat sebuah berita perlu kita lihat secara utuh agar kita tidak menjadi korban kejahatan teknologi masa kini," kata Steve.
Menurutnya, dalam kasus kematian George Floyd yang terjadi di Amerika Serikat ini bukanlah konflik yang terjadi antara kelompok dominan dan kelompok subordinat. "Namun konflik ini bermula setelah pria kulit hitam ini diduga menggunakan uang palsu di salah satu swalayan dan oleh petugas kepolisian setempat lehernya ditekan pakai lutut hingga George Floyd kehabisan napas dan meninggal dunia," ujar alumni Universitas Pertahanan ini pula.
Jika dicermati secara baik, kata dia, tidak tercium bau rasisme dari kasus itu, melainkan kelalaian petugas yang mengakibatkan kematian terduga pengguna uang palsu. "Petugas yang melakukannya dihukum dengan hukum pembunuhan tingkat dua serta beberapa petugas lain yang bertugas bersama pada saat itu dihukum dengan hukuman pembunuhan tingkat tiga," katanya.
Pergerakan massa yang melakukan demonstrasi besar-besaran serta perlawanan di Amerika Serikat, lanjut Steve, merupakan hasil dari propaganda media yang mengaitkan isu kematian George Floyd dengan rasisme.