REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Turki telah menolak proposal Mesir untuk menerapkan gencatan senjata di Libya. Ankara menilai rencana itu sebagai upaya untuk menyelamatkan Komandan Libyan National Army (LNA) Khalifa Haftar.
“Upaya gencatan senjata di Kairo masih mati. Jika gencatan senjata ditandatangani, itu harus dilakukan di platform yang menyatukan semua orang. Seruan gencatan senjata untuk menyelamatkan Haftar tampaknya tidak tulus dan dapat dipercaya bagi kami,” kata Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu kepada Hurriyet Daily News pada Rabu (10/6).
Menteri Pertahanan Turki Hulusi Akar cukup yakin pasukan LNA pimpinan Jenderal Haftar dapat diberantas jika kekalahannya di medan perangnya terus bertambah. “Ketika dukungan di belakangnya ditarik, diangkat, Haftar tentu akan menghilang di sana,” katanya kepada stasiun televisi A Haber, dikutip laman Aljazirah.
Cavusoglu mengatakan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah membahas situasi di Libya pada Senin (8/6) lalu. Mereka menyepakati beberapa hal.
Pada kesempatan itu Erdogan pun menyampaikan bahwa Government National Accord (GNA) akan terus melancarkan serangan untuk merebut kota pesisir Sirte dan pangkalan udara Al-Jufra lebih jauh ke selatan dari pasukan Haftar.
Dalam konflik Libya, Turki berpihak pada GNA, yakni pemerintahan yang diakui secara sah oleh PBB. GNA dipimpin Perdana Menteri Fayez al-Serraj. Dalam beberapa pekan terakhir, Turki membantu GNA memukul mundur pasukan LNA dari Tripoli.
Turki terus melancarkan serangannya ke arah timur dan membuat pasukan LNA pimpinan Haftar terdesak. Mesir, yang mendukung Haftar, kemudian menyerukan gencatan senjata yang dimulai pada Senin (15/6) mendatang. Rusia dan Uni Emirat Arab (UEA) menyambut usulan tersebut.
Libya telah dilanda krisis sejak 2011, yakni ketika pemberontakan yang didukung NATO melengserkan mantan presiden Muammar Qadafi. Dia telah memimpin negara tersebut lebih dari empat dekade. Qadafi pun tewas setelah digulingkan.
Sejak saat itu, kekuasaan politik Libya terpecah dua. Basis pertama memusatkan diri di Libya timur dengan pemimpinnya Khalifa Haftar. Sementara basis yang didukung PBB berada di Tripoli. Pertempuran antara kedua kubu telah menyebabkan ratusan orang tewas dan ribuan luka-luka.