“… Muslim yang ada di sini dari semua warna dan dari setiap bagian bumi ini. Selama beberapa hari terakhir di sini di Makkah (Jedah, Mina, dan Muzdalifah) sambil memahami ritual haji, saya memakan dari piring yang sama, minum dari gelas yang sama, dan tidur di ranjang atau permadani yang sama—dengan Raja, penguasa, dan penguasa lainnya, dengan sesama Muslim yang kulitnya paling putih, yang matanya berwarna paling biru, dan rambutnya paling pirang. Aku bisa melihat bahwa mereka menganggapku sama (saudara) karena kepercayaan mereka kepada satu Tuhan (Allah) telah benar-benar menghilangkan ‘putih’ dari pikiran mereka ....”
REPUBLIKA.CO.ID,Demikian surat yang ditulis dari tangan El Hajj Malik El Shabbaz. Surat tertanggal 26 April 1964 itu menjadi refleksi keyakinan dari aktivis Afro-Amerika dalam memperjuangkan hak-hak kaum kulit hitam di negeri yang konon menjadi penjaga demokrasi di dunia. Malcolm-X, begitu nama populer pria tersebut, melihat langsung betapa ritual haji yang diikutinya itu menghancurkan semua sekat antarmanusia. Tanpa mengenal kasta dan warna kulit, mereka berbaur untuk menjalani status yang sama. Menjadi seorang hamba.
Haji juga membuat prinsip sosok yang sempat menjadi aktivis Nation of Islam itu berevolusi. Malcolm yang sebelumnya menganggap semua warga kulit putih adalah jelmaan setan—akibat perlakuan diskriminasinya—bisa lebih berkompromi. Bagi Malcolm, keyakinan warga kulit putih yang dilihatnya di Tanah Suci membuat mereka menerima kesetaraan semua manusia. Mereka bersama dengan orang-orang berwarna dalam ikatan ukhuwah yang indah. “Dengan rasialisme yang sekarang menjangkiti Amerika, seperti kanker yang tidak dapat disembuhkan, semua orang Amerika yang berpikir harus lebih menghormati Islam sebagai solusi yang sudah terbukti untuk masalah ras,” tulis Malcolm.
Prinsip kesetaraan hak tanpa memandang suku bangsa dan warna kulit sudah menjadi ajaran dalam Islam. Secara tersurat, ayat-ayat Alquran tegas menjelaskan itu. Allah SWT menyampaikan jika kemuliaan diri bukan diperoleh secara //given//, seperti suku bangsa. Kemuliaan harus diraih dengan usaha berupa takwa.
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS al-Hujuraat: 13).
Rasulullah pun memperjelas makna ayat tersebut. "Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu dan bapak kalian juga satu (yaitu Adam). Ketahuilah, tidak ada kemuliaan orang Arab atas orang Ajam (non-Arab) dan tidak pula orang Ajam atas orang Arab. Begitu pula orang berkulit merah (tidaklah lebih mulia) atas yang berkulit hitam dan tidak pula yang berkulit hitam atas orang yang berkulit merah, kecuali dengan takwa." (HR Ahmad dan al-Bazzar).
Tidak hanya lewat dalil, Rasulullah mencontohkan bagaimana akhlak berperilaku dengan orang yang berbeda warna kulit. Bilal bin Rabah menjadi simbol jika Islam memang mengukur kemuliaan berdasarkan ketakwaan. Keteguhan Bilal membuat Rasulullah amat menyayanginya. Rasulullah SAW bahkan pernah mendengar terompah Bilal di surga.
Pembelaan Rasulullah tampak saat Bilal berselisih dengan salah satu sahabat, Abu Dzar al-Ghifari, yang notabene masih memiliki darah Quraisy. Abu Dzar mengemukakan pendapatnya tentang salah satu strategi perang, tetapi itu ditolak Bilal.
Abu Dzar pun secara refleks berkata kepada Bilal, "Beraninya kamu menyalahkanku, wahai anak wanita berkulit hitam? La ilahaillallah! Becerminlah engkau. Lihatlah siapa dirimu sebenarnya?" Bilal marah atas sikap Abu Dzar dan mengadukannya kepada Rasulullah. Mendengar laporan Bilal, rona muka Rasulullah berubah. Abu Dzar pun bergegas datang kepada Rasulullah dan mengucap salam. Ketika itu, Rasulullah sangat marah kemudian bersabda. "Wahai Abu Dzar. Engkau telah menghinakannya dengan merendahkan ibunya. Di dalam dirimu terdapat sifat jahiliyah."
Mendengar sabda Rasulullah, Abu Dzar menangis. Dia lantas memintakan ampunan Rasulullah dari Allah SWT atas kesalahannya. Dia pergi. Untuk menebus kesalahannya, Abu Dzar meletakkan kepalanya di atas tanah yang dilalui Bilal. Dia mengempaskan pipinya ke atas tanah. Dia meminta Bilal untuk menginjak pipinya sambil berkata. "Engkaulah orang yang mulia dan akulah orang yang hina."
Fondasi kesetaraan hak antarsesama manusia sudah ditanamkan Islam yang lahir sejak abad ke-7 Masehi. Padahal, masalah diskriminasi masih saja menghantui umat manusia pada era serbamodern ini. Fenomena tewasnya George Floyd, seorang petugas keamanan Afro-Amerika, akibat ditindih polisi kulit putih membuktikan betapa diskriminasi masih menjadi racun pada masyarakat serbamaju ini. Bukankah mereka selalu mengajarkan demokrasi? Padahal, Malcolm X sudah menawarkan solusi dari krisis yang mereka hadapi lewat 'wasiatnya' dari Tanah Suci.