Jumat 12 Jun 2020 06:58 WIB

Hanya di Kita, Setop PSBB Saat Tren Pandemi Tinggi

Tak ada teori menghentikan PSBB saat tren pandemi Covid-19 masih tinggi.

Ratusan orang antre mengurus perpanjangan Surat Ijin Mengemudi (SIM) di layanan SIM keliling di Pasar Tambak Rejo, Surabaya, Jawa Timur, Selasa (9/6/2020). Layanan SIM keliling di tempat itu ramai dikunjungi warga untuk mengurus perpanjangan SIM saat dibuka kembali setelah ditutup selama tiga tahap Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Surabaya
Foto: Antara/Didik Suhartono
Ratusan orang antre mengurus perpanjangan Surat Ijin Mengemudi (SIM) di layanan SIM keliling di Pasar Tambak Rejo, Surabaya, Jawa Timur, Selasa (9/6/2020). Layanan SIM keliling di tempat itu ramai dikunjungi warga untuk mengurus perpanjangan SIM saat dibuka kembali setelah ditutup selama tiga tahap Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Surabaya

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ekonom senior Indef Dradjad Wibowo mengingatkan pemerintah daerah Surabaya maupun Surabaya Raya soal penghentian pembatasan sosial berskala besar (PSBB) pada saat tren pandemi Covid-19. Berdasar sejumlah kajian ilmiah, kebijakan ini akan berefek lebih buruk pada ekonomi kelak.

Dradjad mengatakan, penghentian PSBB saat kasus Covid-19 sedang tinggi tidak dikenal dalam penanganan pandemi. "Kalau Amerika berbedalah. Amerika sedang tinggi, sedang ada keributan," kata Dradjad dalam pesan suaranya kepada Republika.co.id, Jumat (12/6).

Dalam penanganan pandemi secara mendasar, menurut Dradjad, biasanya pilihan kebijakan berupa PSBB atapun herd immunity, seperti di Swedia. Pemerintah Swedia tidak melakukan pembatasan kesehatan (PSBB), tetapi menerapkan protokol kesehatan atau mengendalikan pandemi dengan melakukan berbagai pembatasan. "Itu teori yang sudah baku (SIR) yang dipakai di seluruh dunia,” ungkapnya.

Dradjad menjelakan tentang sejumlah literatur jurnal ilmiah yang dikenal di dunia. Dia mengatakan, ada satu model simulasi matematika yang menunjukkan jika menjalankan restriksi atau PSBB setengah-setengah, efek ekonomi akan lebih jelek dibanding dengan sama sekali tidak menjalankan PSBB. 

Pasalnya, saat PSBB dijalankan, ekonomi turun. Jika kemudian PSBB dijalankan tidak maksimal atau PSBB diberhentikan terlalu cepat, sementara penularannya belum selesai, efeknya akan berganda.

“Saya khawatir. Bukan hanya di Jawa Timur. Kalau menjalankan PSBB-nya tidak maksimal maka saya khawatir ekonominya akan lebih jelek dibandingkan kalau sama sekali tidak melakukan PSBB,” kata Dradjad.

Dradjad juga menyebut hasil studi pandemi flu di AS yang terjadi pada 1918. Kota-kota yang bergerak melakukan restriksi dan bertindak dengan benar ekonominya pulih lebih cepat.

Dalam kasus penanganan pandemi covid-19 ini, menurut Dradjad, ada dua contoh yang dibicarakan di dunia, yaitu Selandia Baru dan Taiwan. Selandia Baru untuk kasus Covid-19 sudah nol.

“Mereka sebenarnya sudah beberapa minggu nol kasus, tapi mereka tidak membuka dulu restriksinya. Mereka menunggu pelan-pelan dan baru sekarang dibuka. Mereka bahkan masih mempertahankan kontrol perbatasan sehingga orang dari luar belum boleh masuk ke Selandia Baru,” kata Ketua Dewan Pakar PAN ini.

Efek kesuksesan ini sangat luar biasa. Ekonomi Selandia Baru sudah bergerak lagi. "Saya rasa Selandia Baru akan cepat pulih perekonomiannya. Taiwan juga begitu. Padahal, posisinya dekat sekali dengan China."

Selain dua studi tersebut, Dradjad juga menyebut tentang adanya studi perekonomian di Amerika Serikat. Menurut dia, pembatasan sosial keuntungan ekonominya dalam jangka panjang lebih besar dibanding biaya ekonominya.

“Saya rasa para pemimpin politik di negara ini harus betul-betul disiplin dan memberikan contoh,” kata Dradjad.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement