REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah diminta mempersiapkan segala sesuatunya sebelum berlakukan kebijakan new normal untuk sektor pendidikan di Pesantren. Jangan sampai kebijakan new normal ini mengganggu proses belajar dan mengajar di Pesantren karena pesantren menjadi pusat penyebaran Covid-19.
"Soal kebijakan pembukaan Pesantren, saya kira pemerintah harus hati-hati dalam rencana kebijakan new normal di sektor pendidikan ini," kata Wakil Ketua Komisi VIII Ace Hasan Syadzily saat dihubungi, Jumat (12/6).
Menurut dia, pola belajar mengajar di pesantren tidak sama dengan pola belajar di sektor formal yang terbatas dengan waktu. Akan tetapi pesantren waktunya lebih luang sehingga interaksi antara pelajar atau santri dan pengajar dalam hal ini ustadz lebih banyak, sehingga rawan penularan Covid-19.
"Pendidikan Pesantren kan para santri hidup 24 jam dalam lingkungan yang terpadu bersama para Kiai," katanya.
Di Pesantren para santri belajar bersama, mengaji bersama, makan bersama, bermain bersama dan tidur dalam satu kamar yang luasnya juga terbatas. Interaksi personal antara santri tak terhindarkan dalam lingkungan pesantren itu.
Kata dia, apabila Pesantren dengan kurikulum kitab kuning dan proses pembelajarannya secara mandiri, akan tetap mempersilahkan para santri untuk belajar di Pesantren, maka harus dipastikan para santrinya betul-betul telah melalui proses screening yang ketat pada saat tiba di Pesantren. Para santri harus telah melalui proses uji tes Covid 19.
"Dan di dalam asrama Pesantren tersedia berbagai alat pencegah penularan Covid 19 seperti masker, hand sanitizer, hand wash station, alat makanan dan minuman membawa sendiri, dan lain-lain," katanya.
Sebelumnya, Plt Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kemenag, Prof Kamaruddin Amin, mengatakan Kemenag saat ini sedang merampungkan pembahasan draf tentang penerapan new normal di lingkungan pesantren. Kamaruddin mengatakan saat ini draf tersebut sedang dalam tahap penyelesaian.
Namun demikian, ia mengungkapkan santri yang masih berada di rumah diharapkan tidak pulang dulu ke pesantren. Sementara itu, pesantren didorong dapat melaksanakan pembelajaran via daring.
Menurut Kamaruddin, santri yang masih bertahan di pesantren diharapkan mengikuti pembelajaran pesantren dengan memperhatikan protokol kesehatan. "(Draf) sedang finalisasi, intinya kami berharap pesantren yang telah memulangkan santrinya agar tetap tidak pulang ke pondok dan mengupayakan pembelajaran secara online. Yang santrinya masih di pondok dan tidak pulang agar dilaksanakan pembelajaran dengan memperhatikan protokol kesehatan, membentuk gugus tugas covid dan berkoordinasi dengan gugus tugas/pemda setempat," kata Kamaruddin .
Kamaruddin menjelaskan terus menjalin koordinasi dengan dinas kesehatan setempat untuk memastikan setiap pondok pesantren aman dan terbebas dari Covid-19.
Selain itu, Protokol Covid 19 sudah harus disusun terlebih dahulu oleh Kementerian Agama sebagai petunjuk teknis dan rinci untuk penyelenggaraan pendidikan di pesantren. Walaupun memang bagi para santri yang rata-rata usia 12 - 25 tahun tingkat penularannya sangat rendah.
"Namun pemerintah harus lebih mengedepankan prinsip pencegahan dan kehati-hatian dalam melindungi para santri, para Kiai, Ustadz dan pihak-pihak yang terkait di pesantren," katany.
Dalam hal uji tes Covid dan dukungan infrastruktur pencegahan Covid-19 bagi para santri di Pesantren, DPR di Komisi VIII mendukung pemerintah baik pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah, untuk memberikan insentif untuk Pesantren.
Karena kata dia, tidak mungkin dari pihak Pesantren yang menyediakannya, selain karena pesantren memiliki keterbatasan untuk mendapatkan alat uji Covid, juga soal ketersediaan anggarannya.
"Langkah pemerintah untuk memberikan insentif bagi Pesantren kami akan memberikan dukungan terhadap kebijakan tersebut," katanya.