REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Wadah Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (WP KPK) mengatakan tuntutan ringan terhadap pelaku penyiram air keras kepada Novel Baswedan mencerminkan pandangan Presiden Joko Widodo terhadap pemberantasan korupsi. Ketua WP KPK Yudi Purnomo mempertanyakan komitmen Presiden untuk mendukung pemberantasan korupsi.
"Karena faktanya proses penegakan hukum terhadap kasus ini berjalan lama dengan hasil akhir yang tidak memberikan keadilan bagi korban dan menunjukan lemahnya dukungan terhadap pemberantasan korupsi," kata Yudi lewat keterangan resmi yang diterima Republika, Jumat (12/6).
Seharusnya, kata Yudi, Jaksa Penuntut Umum merupakan representasi dari kepentingan negara untuk memastikan terwujudnya keadilan melalui proses penegakan hukum pidana. Pada kenyataanya, tuntutan rendah terhadap dua terdakwa pelaku yang diduga melakukan penyerangan terhadap Novel Baswedan membuat publik kecewa karena peran untuk memastikan tegaknya keadilan tidak terjadi pada persidangan tersebut.
Yudi mengatakan, setidaknya terdapat beberapa implikasi dari tuntutan tersebut terkait jalannya kerja pemberantasan korupsi ke depan. Pertama, berdampak pada tidak terlindunginya kerja pemberantasan korupsi.
"Penyerangan terhadap Novel Baswedan bukan merupakan penyerangan terhadap individu tetapi serangan terhadap penyidik KPK yang diberikan amanah oleh negara dalam menjalankan fungsinya secara independen," tuturnya.
Untuk itu, segala serangan tersebut harus dilihat dalam konteks serangan terhadap kerja pemberantasan korupsi sehingga harus ditangani secara serius. Bahkan, dalam laporan yang dibuat oleh Tim Pemantau Kasus Novel Baswedan yang dibentuk Komnas HAM, secara tegas disebutkan bahwa serangan tersebut tidak terlepas dari pekerjaan yang dilakukan oleh Novel Baswedan.
Tuntutan rendah ini, lanjut Yudi, akan membuat para peneror yang mempunyai maksud untuk mengganggu pemberantasan korupsi tidak merasakan rasa takut untuk menduplikasi atau bahkan mengulangi perbuatan terror terhadap pegawai bahkan pimpinan KPK. Implikasi kedua, berdampak pada tidak terpenuhinya jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia dan pengabaian hasil temuan institusi resmi negara. Implikasi ketiga, berdampak pada tidak dimintakan pertanggungjawaban pelaku intelektualnya.