Sabtu 13 Jun 2020 03:33 WIB

Konsep Keadilan Sosial Al Ghazali

Al Ghazali menekankan tugas pemerintah menyejahterakan rakyatnya.

Rep: Yusuf Asiddiq/ Red: Muhammad Hafil
Konsep Keadilan Sosial Al Ghazali. Foto: (Ilustrasi) Naskah
Foto: tangkapan layar wikipedia.org
Konsep Keadilan Sosial Al Ghazali. Foto: (Ilustrasi) Naskah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Al-Ghazali hidup ketika peradaban Islam mencapai puncak kejayaan. Kemajuan melingkupi segenap bidang. Perekonomian, budaya, ilmu pengetahuan, dan agama mengalami perkembangan pesat. Namun, ia masih melihat adanya kesenjangan, masih terdapat warga miskin. Ada keprihatinan dalam dirinya.

Cendekiawan yang juga seorang ulama ini tergerak memberikan kontribusi untuk memecahkan masalah tersebut. Ia ingin mengubah kondisi, terutama melalui ranah pemikiran dan intelektual. Ia kemudian merumuskan konsep yang mendorong terwujudnya keadilan sosial di tengah masyarakat.

Baca Juga

Konsep ini sangat terkenal serta menjadi rujukan hingga berabad lamanya. Namanya kian tenar. Ia semakin diperhitungkan sebagai ilmuwan berpemikiran cemerlang dan berpengaruh dalam peradaban Islam. Tak heran jika Abu Hamid al-Ghazali dijuluki bahrum muqhriq atau laut yang menenggelamkan.

Sebab, ia mempunyai kecerdasan dan kemampuan menguasai berbagai disiplin ilmu. Ia dikenal sebagai seorang teolog muslim, fakih, dan sufi abad pertengahan. John L Esposito dalam buku Sains-sains Islam, mengatakan, sedikit tokoh dalam sejarah intelektual Islam yang mempunyai pengaruh sekuat al-Ghazali.

Al-Ghazali mengupayakan pemaduan ilmu-ilmu yang ia kuasai dan mengundang kekaguman berbagai kalangan, baik Muslim maupun non-Muslim. Tokoh ini dilahirkan pada  450 H/ 1058 M di Kota Thus, wilayah Khurasan. Sejak kecil, ia sudah memperlihatkan bakat mengagumkan pada bidang ilmu pengetahuan.

Ia menimba ilmu tasawuf, hukum, filsafat, dan teologi, dari beberapa guru terkenal, antara lain Ahmad bin Muhammad al-Radzakani, Imam Abu Nushr al-Ismaili, Abu al-Ma’ali al-Juwaini, dan Abu Ali al-Faramadi. Ia juga pernah menjalani kehidupan sufi selama beberapa waktu.

Al-Ghazali meneruskan kiprah keilmuannya di Thus. Pada usia 34 tahun, ia diangkat sebagai guru besar di perguruan tinggi Nizamiyah, Baghdad. Kapasitas keilmuan berkontribusi membuatnya sebagai penulis yang produktif. Tidak kurang dari 400 karya telah dihasilkan.

Keistimewaan pemikiran dan karya al-Ghazali, yakni memiliki pijakan kuat secara moral ataupun etika agama. Hal itu pula mendasari teori-teori humanismenya. Beberapa bagian dalam kitab Ihya al-Ulum al-Din membahas masalah ini. Menurut dia, praktik kemanusiaan merupakan turunan aspek holistik, harmoni, dan pengabdian pada Tuhan.

Pada akhirnya, hal itu bisa membantu dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Jadi, terdapat kaitan erat antara negara, politik, dan kehidupan sosial. Demikian inti pemikiran al-Ghazali, seperti terurai dalam Al-Ghazali on Social Justice; Guidlines for a New World Order from an Early Scholar yang disusun Ozay Mehmet.

Pemerintah, kata al-Ghazali, adalah karunia Tuhan. Pelaksanaannya diemban oleh orang-orang terpilih dan mereka bertanggung jawab kepada Tuhan. Tugas pemerintah, jelas al-Ghazali, adalah menghadirkan kesejahteraan bagi segenap rakyat melalui prinsip-prinsip keadilan sesuai perintah agama.

Kebalikannya, yakni ketidakteraturan serta maraknya penyakit moral. Al-Ghazali menawarkan konsep negara ideal. Ia berpendapat, unsur paling penting dalam suatu negara adalah individu-individu. Bila setiap individu bisa bertindak benar dan tidak melakukan penyimpangan, akan muncul negara yang diharapkan.

Oleh karena itu, individu harus memiliki kelebihan. Salah satunya, kuat secara moral dan spiritual. Di samping itu, mereka juga harus dibekali ilmu yang cukup.  Pribadi-pribadi unggul akan mengemuka dari kombinasi keduanya.Dalam kaitan ini ia mendukung konsep individu dalam masyarakat.

Al-Ghazali sangat menentang pemikiran  yang disebut 'manusia ekonomi'.

Menurut dia, konsep itu memisahkan etika serta bermasyarakat. Ajaran Islam, kata al-Ghazali, sangat erat dengan dimensi sosial. Terdapat jenjang sosial, mulai dari individu, keluarga, tetangga, komunitas, hingga umat.

Demikian juga kegiatan amal, berbagi, atau menyantuni, menjadi elemen mendasar pada lingkup sosial kemasyarakatan. Menurut John L Esposito, al-Ghazali tidak hanya berupaya menghidupkan kembali disiplin-disiplin Islam, tapi juga memperbarui masyarakat secara praktis.

Dalam karyanya, ia memberikan penilaian atas peran berbagai kelompok masyarakat.

Ia mengkritik para pakar Muslim lain. Keduniawian telah memalingkan mereka dari fungsi utamanya membimbing penguasa dan orang awam. Selain itu, mereka seolah menutup mata terhadap masalah nyata dan mendesak yang dihadapi masyarakat.

Prinsip dasar ekonomi tak lepas dari amatannya. Al-Ghazali menilai, kegiatan ekonomi harus lekat dengan unsur moral dan etika. Dua hal perlu ditekankan, yakni kepedulian untuk menyisihkan sebagian hartanya bagi kepentingan umat dan masyarakat. Lalu, seseorang diharapkan bisa menginternalisasi nilai dalam kehidupan sehari-hari.

Pemerintah atau negara hendaknya memiliki keberpihakan terhadap rakyat yang kurang mampu. Negara juga memastikan konsep itu dipraktikkan secara nyata. Al-Ghazali mengatakan, stabilitas menjadi kunci. Tanpa itu, sulit melaksanakan upaya peningkatan kesejahteraan.

Pembangunan negara ideal, jelas dia, harus berlandaskan etika dan keadilan, dan membutuhkan pemerintahan yang baik. Tugas utama pemerintah tersebut adalah menciptakan keadilan, termasuk keadilan sosial. Pada bagian lain, dia mensinyalir ada korelasi antara ketidakadilan dan kemiskinan.

Dia menganggap, sebagian penguasa menyalahgunakan kekayaan publik. Ia segera meluruskan penyimpangan itu. Ia menulis surat kepada beberapa sultan dan wazir, mengingatkan tentang tugas utama mereka. Ia juga mencela orang-orang kaya yang enggan bersedekah.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement