REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri hanya menjawab diplomatis soal tuntutan terhadap dua penyerang penyidik KPK Novel Baswedan yang dinilai ringan. Firli mengaku menyerahkan seluruh proses hukum kepada majelis hakim.
Padahal, banyak kalangan yang menilai tuntutan terhadap Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette pada Kamis (11/6) kemarin, hanya sebagai sandiwara hukum. Jaksa penuntut umum hanya menuntut dua polisi aktif yang diburu selama lebih dari dua tahun itu dengan penjara selama 1 tahun.
"Prinsipnya adalah kami sebagai negara hukum, kita akan ikuti proses hukum itu," kata Firli, Jumat (12/6).
Filri mengaku berharap majelis hakim bisa menjatuhkan vonis dengan adil terhadap kedua terdakwa. "Nanti kami harapkan hakim memberikan keputusan seadil-adilnya," kata dia.
Berbeda dengan Firli, mantan komisioner KPK, Laode M Syarif mengaku tak habis pikir dengan tuntutan yang dilayangkan jaksa tersebut. Laode adalah pimpinan KPK saat Novel diserang pada April 2017 lalu.
Laode bahkan menilai persidangan tersebut layaknya sebuah sandiwara. "Tidak dapat diterima akal sehat. Bandingkan saja dengan penganiayaan Bahar Bin Smith," kata Syarif dalam pesan singkatnya, Jumat (12/6). "Saya melihat pengadilan ini sebagai ‘panggung sandiwara'."
Dalam tuntutan yang dinilai mempermainkan hukum itu, jaksa menyatakan keduanya terbukti melakukan penganiayaan terencana yang mengakibatkan luka berat. Namun, kedua terdakwa atau para penyerang Novel tidak memenuhi unsur dakwaan primer soal penganiayaan berat dari Pasal 355 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Jaksa menilai para terdakwa hanya akan memberikan pelajaran kepada Novel dengan melakukan penyiraman air keras. Tapi di luar dugaan ternyata mengenai mata Novel yang menyebabkan mata kanan tidak berfungsi dan mata kiri hanya berfungsi 50 persen saja, artinya cacat permanen.