REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemutusan hubungan kerja (PHK) dilakukan sejumlah maskapai penerbangan selama pandemi virus corona jenis baru (COVID-19). Dilansir Fortune, Jumat (12/6), PHK terbaru datang dari Lufthansa Group, perusahaan yang memiliki maskapai besar di Austria, Swiss, dan Belgia.
PHK yang terjadi saat ini diperkirakan masih terus berlanjut. Lufthansa Group mempekerjakan lebih dari 135.000 orang, separuhnya di Jerman di mana separuh dari pemotongan karyawa akan terjadi, termasuk banyak dalam administrasi dan bisnis, serta layanan pihak ketiga grup.
Penurunan jumlah pegawai Lufthansa yang menjulang dan masih menjadi subjek negosiasi dengan serikat pekerja adalah yang terbesar diumumkan dalam krisis di industri penerbangan saat ini. Tetapi banyak operator yang terpaksa, atau mengambil kesempatan, untuk berhemat. Hampir semua orang memperkirakan sektor ini membutuhkan waktu beberapa tahun untuk pulih.
Di Inggris saja, para peneliti memperkirakan hilangnya 124.000 pekerjaan di sektor ini, kecuali pemerintah negara itu memberikan bantuan tambahan kepada pekerja industri penerbangan. Secara lebih rinci, berikut daftar pengumuman PHK paling signifikan yang dibuat oleh perusahaan penerbangan dalam beberapa bulan terakhir.
British Airways pada akhir April mengumumkan memangkas hingga 12.000 pekerjaan. Anak perusahaan mempekerjakan sekitar 42.000 orang, itu adalah proporsi yang lebih tinggi daripada yang Lufthansa rencanakan, walaupun jumlah keseluruhannya lebih kecil.
Selanjutnya ada Emirates Group yang mungkin berakhir dengan pemotongan terberat dari semua. Bloomberg pernah melaporkan kemungkinan penurunan di urutan 30.000. Namun, perusahaan asal Dubai, Uni Emirat Arab (UEA) yang mempekerjakan sekitar 105.000 orang di seluruh dunia, tidak jelas tentang jumlah total. Sejauh ini, Emirates dilaporkan memberhentikan lebih dari 7.200 awak kabin, pilot, dan insinyur.
American Airlines, yang memiliki hampir 129.000 karyawan, mengatakan pada akhir Mei lalu bahwa perusahaan akan memotong sekitar 30 persen dari layanan manajemen dan dukungannya. Itu berarti sekitar 5.000 pekerjaan akan hilang, meskipun pemotongan tidak dapat dilakukan sebelum akhir September karena ketentuan bailout federal maskapai.
Kemudian ada SAS atau Scandinavian Airlines, maskapai penerbangan gabungan Denmark, Norwegia, dan Swedia, mengatakan pada akhir April bahwa akan memangkas hingga 5.000 pekerjaan, atau hampir setengah dari tenaga kerjanya. Norwegian Air juga dilaporkan mengakhiri berbagai kontrak kepegawaian di AS dan Eropa. Secara keseluruhan, 4.700 pekerjaan berisiko.
Easy Jet, maskapai penerbangan bertarif rendah di Inggris, EasyJet, memangkas sekitar 4.500 pekerjaan, atau 30 persen dari tenaga kerjanya. Ini menjadi peringatan, lebih banyak lagi PHK terjadi, jika pemerintah Inggris mempertahankan persyaratan karantina dua minggu bagi orang-orang yang tiba ke negara itu, membuat banyak wisatawan atau pelancong yang berpikir ulang untuk melakukan perjalanan ke sana.
United Airlines juga menjadi maskapai penerbangan yang terpukul berat selama pandemi COVID-19. Sebuah laporan pada awal Mei lalu, berdasarkan memo internal, mengatakan perusahaan berencana untuk memberhentikan 30 persen dari tenaga manajerial dan administratif, yang mengartikan sekitar 3.500 pekerjaan hilang. Namun, CEO Scott Kirby kemudian mengatakan dia ingin menghindari tindakan itu jika memungkinkan.
Selanjutnya, ada Virgin Atlantic mengatakan pada awal Mei bahwa 3.150 pekerjaan akan dipangkas, sehingga maskapai bisa kembali ke profitabilitas pada 2021. Ryanai yang merupakan kompetitor EasyJet (juga lawan vokal dari persyaratan karantina dua pekan Inggris) mengatakan pada awal Mei bahwa mereka akan mengurangi sekitar 3.000 pekerjaan, atau 15 persen dari tenaga kerjanya.
Alaska Airlines, yang mempekerjakan sekitar 23.000 orang, mengatakan akan mengurangi hingga 3.000 pekerjaan. Terakhir, ada Virgin Australia yang mengajukan perlindungan kebangkrutan pada akhir April. Setelah bertemu dengan penawar, serikat pekerja sekarang khawatir 2.000 pekerjaan akan terpotong.