REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Lebih dari 1.000 warga Filipina, Jumat (12/6), memberanikan diri turun ke jalan di tengah ancaman penularan Covid-19 untuk memprotes rancangan undang-undang (RUU) anti-terorisme baru yang akan disahkan oleh Presiden Rodrigo Duterte.
Unjuk rasa itu, dipimpin oleh aktivis penentang Duterte, digelar saat Filipina merayakan 122 tahun kemerdekaan negara itu dari pendudukan Spanyol. Aktivis hak asasi manusia telah menyampaikan kekhawatiran mereka terhadap rancangan beleid usulan Duterte itu. Aktivis memperingatkan ada sejumlah pasal yang tidak manusiawi, termasuk di antaranya penangkapan tanpa disertai surat penahanan.
Aktivis mengatakan beleid itu, jika disahkan, dapat digunakan penguasa untuk menargetkan kelompok oposisi.
"Tampaknya kami akan kehilangan hak paling dasar karena rancangan undang-undang anti-terorisme, khususnya hak kami untuk mengkritik pemerintah," kata Ofelia Cantor, satu dari 1.000 orang demonstran yang berunjuk rasa di gedung utama University of the Philippines, Manila.
Para pengunjuk rasa, lengkap dengan masker dan sikap jaga jarak, memegang poster aksi dan menyerukan slogan, di antaranya berbunyi: "RUU sampah!" dan "Aktivis bukan teroris!"
Juru bicara presiden, Harry Roque, menyampaikan RUU itu dibuat dengan mengadopsi cara pencegahan ekstremisme yang telah efektif dipraktikkan di beberapa negara.
Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Eduardo Ao mengatakan ia memerintahkan kepolisian untuk mengawal para demonstran dan menoleransi aksi unjuk rasa, meskipun ia memperingatkan aturan karantina melarang adanya kumpulan massa.