REPUBLIKA.CO.ID, Oleh DR Ma’mun Murod Al-Barbasy, Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) FISIP UMJ
Publik dikejutkan dengan hasil rapat paripurna DPR RI (12/5/2020), yang mengesahkan Haluan Ideologi Pancasila (HIP) menjadi RUU Usulan Inisiatif DPR RI. Sebelumnya, Haluan Ideologi Pancasila merupakan RUU Usulan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Dengan dibahas di dalam rapat paripurna, RUU ini pun berubah menjadi RUU Usul Inisiatif DPR RI dan masuk ke tahap pembahasan menuju undang-undang.
Disepakatinya HIP menjadi RUU HIP ini hanya menegaskan bahwa rezim yang berkuasa saat ini memang lebih suka menciptakan kehebohan-kehebohan ideologis daripada berusaha untuk menghadirkan atau membumikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui beragam kebijakan yang senafas dengan Pancasila.
Masih lekat di ingatan kita, dalam beberapa tahun belakangan, tepatnya menjelang Pilkada DKI Jakarta 2017 hingga berakhirnya Pilpres 2019, rezim yang berkuasa saat ini berhasil menguras emosi masyarakat dengan membenturkan secara horizontal society versus society (bandingkan kecenderungan konflik era Orde Baru, yang terjadi adalah state versus society) dengan isu-isu ideologis murahan yang menjadikan Pancasila sebagai instrument untuk mengadudomba.
Disepakatinya RUU HIP untuk dibahas menjadi undang-undang menjadi gambaran jelas mentalitas ideologis rezim yang berkuasa saat ini. Bukan untuk memperkuat, tapi sebaliknya, RUU HIP justru akan memperlemah posisi Pancasila. Pancasila yang secara ideologis sudah selesai dan disepakati sebagai ideologi negara diposisikan dan direkayasa seolah-olah belum selesai. Selain itu, RUU HIP telah menempatkan posisi Pancasila yang seharusnya menjadi open ideology menjadi close ideology (meminjam istilah Magnis-Suseno) yang tafsir ideologisnya menjadi monopoli negara.
Saat ini tak ada lagi tantangan idoelogis yang berarti bagi Pancasila. Bandingkan dengan pada masa awal pasca kemerdekaan yang masih kerap terjadi pergolakan ideologis, baik dalam bentuk Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), yang saat kemunculannya menyebar ke beberapa daerah: dari disekitaran Priangan (Garut, Tasikmalaya, dan sekitarnya), Aceh hingga Kalimantan Selatan dan Jawa Tengah maupun Partai Komunis Indonesia (PKI), yang meskipun berkali-kali telah membuat ulah dan melakukan pemberontakan, tapi eksistensinya tetap diakui, mendapat pembelaan, dan perlindungan dari rezim Orde Lama. Buah pembelaan dan perlindungan ini, pada Pemilu 1955 PKI berhasil masuk the big four setelah Masyumi, PNI, PNU, dengan 39 kursi di DPR (15% suara).
Saat ini tak ada lagi DI/TII. Saat ini tak ada Fraksi di DPR/MPR yang bersikap keras dan ideologis seperti yang dipertontonkan Fraksi PPP di awal berfusinya empat partai Islam ke dalam PPP hingga akhir 1970-an. Dalam beberapa periode terakhir, semua kekuatan politik di Senayan sudah berhasil “dijinakkan” oleh eksekutif dan kaum oligarch (ekonomi) yang dengan kekuatan finansial yang dimilikinya berhasil menyusup ke partai-partai politik dan mendirikan “partai ternak”. Saat ini tak ada lagi gerakan-gerakan Usroh yang tak mau menghormat bendera dan menyanyikan Indonesia Raya dan Garuda Pancasila yang begitu mencolok sebagaimana yang terjadi di awal 1980-an.
Hingga saat ini semua elemen bangsa yang mainstream telah bersepakat menjadikan Pancasila ideologi negara, tentu dengan penyebutan yang berbeda-beda. Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan ormas Islam besar lainnya, entah sudah berapa kali melakukan penegasan sikap jamiyah-nya atas kedudukan Pancasila sebagai ideologi negara. Bahkan melalui Muktamar Makassar 2015, Muhammadiyah kembali menegaskan posisi Pancasila sebagai Dar al-Ahd wa al-Syahadat (Negara Kesepakatan dan Persaksian).
Dalam posisi sebagai Rais Am Syuriah PBNU, KH. Makruf Amin juga pernah menyebut Pancasila sebagai Dar al-Mitsaq (Negara Perjanjian). Hizbut Tahrir Indonesia yang bercita-cita mendirikan Khilafah pun juga sudah dibubarkan oleh rezim Joko Widodo. Jadi, sekali lagi, praktis saat ini tak ada lagi problem ideologis kebangsaan yang serius, sehingga merasa perlu dibuatkan undang-undang yang konon dimaksudkan untuk memperkuat posisi Pancasila sebagai ideology Negara.
Problem Pancasila saat ini adalah pada pembumian nilai-nilai Pancasila yang bukan saja tercermin dari kebijakan-kebijakan yang seharusnya senafas dengan Pancasila, juga dari perilaku bangsa ini, terutama perilaku elit penyelenggara negara. Pada konteks inilah, berbagai masukan, kritik, teriakan, dan bahkan caci maki telah diutarakan berbagai kalangan, tapi hanya dianggap sepi saja oleh rezim yang berkuasa saat ini.
Rezim, terlebih yang berasal dari beberapa partai nasionalis terus saja sibuk melakukan ideologisasi Pancasila dengan teriakan-teriakan yang seolah-olah mereka paling pancasilais sambil menuduh dan menyudukan kelompok lainnya sebagai anti-Pancasila.
Inilah problem Pancasila yang sesungguhnya. Bukan pada aspek ideologisasi, tapi pada aspek pembumian. Maka desakan masyarakat yang menolak RUU HIP, yang tercermin dari pernyataan dan sikap ormas-ormas Islam, tokoh dan pemuka agama di banyak daerah, kalangan kampus, karena sejatinya masyarakat tak butuh lagi dengan ideologisasi Pancasila. Masyarakat tak lagi menganggap ada problem ideologis. Masyarakat hanya menuntut agar Pancasila tidak selalu dijadikan sebagai jargon atau slogan, tapi dihadirkan nilai-nilainya.
Masyarakat hanya mengharapkan agar nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai amanat Pancasila dan Konstitusi menjadi pijakan dasar dalam pembuatan semua kebijakan negara dan perilaku elit penyelenggara negara. Kebijakan yang bertentangan dengan nilai-nilai sila pertama tak seharusnya dilahirkan dan diterapkan. Masyarakat hanya menginginkan para penyelenggara negara mampu membuat kebijakan-kebijakan yang memanusiakan manusia (dalam arti luas disebut masyarakat) dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan.
Masyarakat hanya menginginkan hadirnya elit politik yang mempersatukan, bukan yang memecah belah umat dan masyarakat. Elit yang mampu merawat dan menghadirkan kebhinnekaan di negeri ini. Masyarakat hanya menginginkan dijalankannya praktik demokrasi yang senafas dengan prinsip-prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Bukan demokrasi yang dijalankan secara liberal, yang tentunya bertentangan dengan Pancasila. Pancasila bukan dan bahkan tidak sama dengan Liberalisme. Masyarakat yang memahami dengan baik nilai-nilai Pancasila pasti menolak kebijakan politik yang dibuat sangat liberal, yang tergambar dari sistem kepartaian dan sistem pemilu serta pelaksanaannya yang bahkan malampaui praktik politik liberalis yang dipertontonkan oleh Amerika Serikat.
Masyarakat hanya mengingkan hadirnya nilai-nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Terjadinya praktik perekonimian berkeadilan, kekayaan ekonomi terdistribusi secara adil dan merata, bukan praktik ekonomi yang timpang dan kapitalisitik. Masyarakat menolak tegas praktik ekonomi yang monopolis dan oligopolis yang dipraktikan secara telanjang di bumi yang berideologikan Pancasila. Monopoli dan oligopoli sama sekali bukan praktik ekonomi yang senafas dengan Pancasila.
Ketika masyarakat tak lagi menganggap ada problem ideologis, tapi rezim yang berkuasa saat ini justru tetap dan sering menawarkan “proyek” ideologisasi Pancasila, menandakan adanya ketaknyambungan dengan rakyatnya. Dan inilah realitas politik yang secara beruntun terjadi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
Kalau dalam kasus RUU HIP, rezim yang berkuasa saat ini tetap memaksakan kehendaknya untuk mengesahkan RUU HIP menjadi undang-undang, sementara penolakan sudah terjadi di mana-mana, rasanya rakyat Indonesia perlu berpikir serius untuk mengatasi situasi panas tersebut.