REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Kemenangan yang diraih pemerintah Libya atas bantuan Turki baru-baru ini di bagian barat negara itu memaksa Liga Arab untuk mendukungnya, menurut seorang anggota parlemen Libya.
Dalam sebuah wawancara dengan Anadolu Agency pada Jumat, Jalal Shuwaidi, wakil ketua parlemen pertama Libya, mengatakan keberhasilan pemerintah Libya terhadap jenderal Khalifa Haftar telah mengubah sikap komunitas global terhadap konflik di negara itu.
Shuwaidi mengomentari pernyataan terakhir dari Hossam Zaki, asisten sekretaris jenderal Liga Arab, menyatakan Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) Libya yang dipimpin oleh Fayez al-Sarraj adalah otoritas yang sah di negara tersebut.
Dalam sebuah wawancara dengan televisi Mesir awal pekan ini, Zaki mengatakan pemerintah GNA adalah kekuatan yang sah di Libya menurut Perjanjian Skhirat 2015, selain itu perjanjian Libya dan Turki juga sah.
"Itu [pernyataan Zaki] muncul setelah kemenangan GNA kemenangan yang dicapai dengan sekutu strategis kami, Turki, mengubah banyak posisi Internasional dan regional, termasuk Liga Arab," kata Shuwaidi.
Dia mengatakan Liga Arab tetap menjadi pengamat yang acuh tak acuh dan pasif pada awal serangan Haftar, terutama karena berada di bawah kendali negara-negara yang telah mendukung agresi jenderal pemberontak itu.
"Negara-negara ini berpikir, berdasarkan perhitungan yang salah, bahwa putschist alias pasukan pembangkang akan merebut Tripoli, dan [mereka] mengacaukan segala keputusan yang mendukung GNA," kata dia.
Dia menyambut pernyataan Zaki dan mendesak Liga Arab untuk memainkan perannya dalam mendukung sisi yang benar.
Turki menawarkan dukungan yang legal
Mengenai masalah kerja sama dengan Ankara, anggota parlemen Libya menegaskan bahwa Turki telah datang untuk membantu GNA sejalan dengan perjanjian yang memiliki nilai hukum.
"Turki tidak memaksa untuk ikut campur tangan dalam konflik ini, itu campur tangan di bawah nota kesepahaman dengan pemerintah Libya yang sah yang diakui secara internasional," kata dia.
Dia mengatakan ada negara-negara lain yang "campur tangan tanpa persetujuan dari pemerintah yang sah dan mencoba untuk mendukung putschist [Haftar] dalam upayanya untuk mengambil alih kekuasaan."
"Seperti UEA, Yordania, Mesir, Arab Saudi, dan kelompok Wagner Rusia, ini dianggap intervensi tetapi Turki tidak melakukan intervensi," kata dia kepada Anadolu Agency.
Shuwaidi juga menggambarkan seruan gencatan senjata Mesir baru-baru ini sebagai "upaya untuk menyelamatkan putschist Khalifa Haftar."
"Saran saya kepada pemerintahan Mesir adalah untuk memperkuat hubungannya dengan pemerintah yang sah untuk memastikan keamanan nasional dan [keamanan] perbatasannya," kata dia.
Setelah kekalahan telak di lapangan, Haftar dan sekutunya Akila Saleh, ketua parlemen pro-Haftar di Libya, bertemu dengan Presiden Mesir Abdel Fatah al-Sisi pada 6 Juni lalu dan mengeluarkan seruan untuk gencatan senjata, yang telah ditolak.
GNA yang diakui secara internasional diserang oleh milisi Haftar sejak April 2019.
GNA meluncurkan Operasi Badai Perdamaian pada Maret untuk melawan serangan terhadap ibu kota, dan baru-baru ini berhasil merebut kendali atas lokasi-lokasi strategis, termasuk pangkalan udara Al-Watiya dan kota Tarhuna.