REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Pengunjuk rasa turun ke jalan-jalan di ibukota Lebanon, Beirut, dan kota-kota lain pada Sabtu (13/6). Mereka menyerukan pengunduran diri untuk pemerintah yang memimpin saat ini karena negara semakin tenggelam lebih dalam ke dalam kesulitan ekonomi.
Protes datang setelah keruntuhan mata uang lokal terhadap dolar. Beberapa dari demonstrasi terjadi dan akhirnya pecah menjadi kekerasan, termasuk serangan terhadap bank dan toko swasta pada Sabtu.
Aktivis politik, Neemat Badreddin, menggambarkan pemerintah saat ini sebagai tawanan untuk kepentingan kelompok politik dan bukan publik. "Pemerintah saat ini terbukti gagal," katanya mengenakan masker yang menampilkan bendera Lebanon dengan pohon cedar hijau di tengahnya.
Badreddin menyatakan masyarakat butuh pemerintahan baru yang bisa memberikan stabilitas. Warga ingin dapat hidup tanpa mengemis atau tanpa harus bermigrasi.
Para pengunjuk rasa di Beirut membawa spanduk bertuliskan "Ada alternatif". Sedangkan di selatan kota Sidon, beberapa demonstran mengarahkan kemarahan pada gubernur bank sentral. Seorang pengunjuk rasa mengangkat spanduk yang memanggilnya "pelindung semua pencuri di Lebanon".
Di utara kota Tripoli, pasukan militer secara paksa membubarkan puluhan pengunjuk rasa yang telah menghalangi jalan mencegah truk bergerak maju. Para pengunjuk rasa menuduh truk-truk itu menyelundupkan barang-barang ke Suriah. Otoritas bea cukai Lebanon mengatakan, truk-truk itu memang mengangkut bantuan PBB yang ditujukan ke Suriah yang dilanda perang.
Mata uang lokal telah menurun selama berminggu-minggu, kehilangan lebih dari 60 persen nilainya. Media Lebanon melaporkan nilai tukar telah jatuh ke 6.000 per dolar di pasar gelap pada Jumat (12/6) pagi, dibandingkan dengan patokan resmi 1.507 yang berlaku sejak 1997. Sedangkan, Lebanon sangat bergantung pada impor dengan dolar dan mata uang lokal telah digunakan secara bergantian selama bertahun-tahun.
Krisis ekonomi dan keuangan yang tidak tertandingi membuktikan tantangan besar bagi pemerintah Perdana Menteri Hassan Diab yang menjabat awal tahun ini. Segera setelah menjabat, Diab dihadapkan dengan penanganan pandemi virus corona yang membuat negara itu lockdown selama berbulan-bulan sehingga semakin memperparah krisis.
Meski pemerintahan Diab didukung oleh kelompok bersenjata kuat Hizbullah dan sekutunya, dia telah dilemahkan oleh krisis ekonomi. Kondisi yang menekan ini membuat Diab mendesak masyarakat untuk bersabar.
Diab mengatakan ada banyak rintangan politik, termasuk dari saingan yang katanya berusaha untuk merusak pemerintahan. Dia tidak menawarkan solusi untuk krisis dan menyebutkan nama lawan-lawannya, tetapi mengatakan pemerintahnya bekerja untuk memerangi korupsi dan menegakkan kekuasaan negara.
Kekurangan dolar, ditambah dengan pertumbuhan ekonomi yang sudah negatif, telah menghancurkan kelas menengah Lebanon. Kondisi ini meningkatnya kemiskinan di negara Mediterania dengan pemerintah yang dililit hutang.
Pemerintah telah melakukan pembicaraan selama berminggu-minggu dengan Dana Moneter Internasional setelah meminta rencana penyelamatan finansial. Namun, tidak ada tanda-tanda kesepakatan akan segera terjadi.